Sajak-Sajak Masa Tua
Ketika aku masih muda
Siang hari pukul dua
Kuhadapkan kepalaku ke pintu
Kamarku di atap
Tikarku lebar terhampar
Dan kuhabiskan jam-jam riang.
Jauh di udara burung elang
Memanggil-manggil
Di angin basah
Daun-daun shirish berkilauan
Dengan paruh pecah karena haus, burung gagak
Terbelalak matanya memandang tembok batu.
Burung-burung gereja menggelepar
Di kasau-kasau kamarku.
Menyebrangi gang kudengar suara penjaja makanan:
Di sebuah atap nun jauh seseorang bermain layang-layang.
Jauh di balik pelupuk mata,
Yang Tak Dikenal
Meniup seruling membujuk hatiku
Meninggalkan rumah.
Cinta dan duka bercampur entah kenapa,
Menenun mimpi tanpa awal
Tanpa akhir.
Seakan aku memandang –
Teman seseorang yang tak punya teman.
Aku melangkah ke umur tujuh puluh,
Menuju akhir pantai.
Kusingkap jendela kalbuku
Seakan di masa kanak
Merenung. Waktu-waktuku lewat.
Dalam panas membakar ini
Dahan-dahan Shirish bergetar
Dekat perigi di tepi pohon tamarin.
Anjing tetangga tidur;
Bebas dari gerobak, sapi jantan
Membaringkan dirinya di padang.
Bunga gandharaya berlayuan di atas kerikil,
Mataku menyentuh semua,
Pikiranku berada di tiap benda.
Seakan bocah bebas bertelanjang, pikiranku
Menyertai kenaungan hutan
Dan langit,
Kulit kerang-kerangan tak dikenal
Bergema dalam semua yang kukenal.
***
Dunia kini buas dengan mata gelap kebencian,
Pertikaian kian ganas dan ketakutan tak kunjung henti,
Miring jalannya, kacau oleh timbunan kelobaan.
Segenap makhluk meneriakkan kelahiran baru darimu.
O Kamu kehidupan yang tak terbatas,
Selamatkanlah mereka, bangkitkanlah suara kekal harapanmu.
Biarkan teratai cinta dengan kekayaan madunya tak habis-habis
Mebukakan kelopak-kelopaknya di dahan cahayamu.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Spulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.
Kaulah pemberi karunia abadi
Beri kami kekuatan menyangkal
Dan tuntutlah dari kami kebanggaan kami.
Dalam pesona fajar baru kearifanBiar si buta memperoleh penglihatan terang
Dan biar hidup mendatangi jiwa-jiwa mati.
O Terang, O Kebebasan,
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.
Hati manusia cemas oleh bara kegelisahan,
Oleh racun kepentingan diri,
Oleh dahaga tak kenal akhir.
Negeri-negeri jauh dan luas menunjukkan kening mereka
Yang memercikkan darah merah kebencian.
Rabalah mereka dengan tangan kananmu,
Jadikan mereka satu dalam semangat,
Bawakan keselamatan dalam hidup mereka,
Bawakan nada keindahan.
O Terang, O Kebebasan
Dalam kasih saying dan kebaikanmu yang tak terhingga
Sapulah semua najis kegelapan dari hati bumi ini.
***
Dari jauh aku memikirkanmu
Kaum zalim, tak tergugat.
Dunia gemetar dalam ketakutan
Mengerikan.
Kobaran api kelobaanmu
Melalap hati yang patah
Di tanganmu trisula
Naik menuju awan bertopan
Menurunkan guntur.
Hatiku gemetaran
Aku berdiri di depanmu.
Dalam pandang matamu yang mencakar
Terhambur ancaman bagaikan gelombang
Angin kencang turun.
Seraya menekankan tanganku ke hati
Aku bertanya,
"masih ada lagikah
Halilintarmu yang terakhir?"
Angin kencang bertiup.
Hanya inikah?
Rasa takutku lenyap.
Jika halilintarmu kau enyahkan,
Kau jadi lebih agung dariku.
Tiupan anginmu membuatmu tegelincir
Jatuh ke duniaku.
Kau jadi kecil
Dan rasa takutku lenyap.
Betapapun besar
Kau tak lebih agung dari kemarin.
Bahwa aku lebih agung
Itulah kata-kataku yang terakhir
Jika aku pergi.
***
Pintu senantiasa terbuka
Hanya mripat si buta yang tertutup
Ia yang tak berani masuk
Tak kenal jalan ruh.
Pintu, serumu bergema dalam terang dan gelap
Musik selamat datangmu begitu khidmat
Palang pintumu dalam matahari fajar
Dan dalam kegelapan bintang-bintang.
Pintu, dari benih sampai pucuk sulur.
Kau berjalan dari kembang ke buah
Walau waktu-waktu tak terurai
Dari mati menuju hidup.
O Pintu, kehidupan dunia
Perjalanan demi perjalanan dari mati ke mati
Kau lambaikan isyarat pada peziarah kebebasan
Suara "Tak Takut" terdengar dari malam keputusasaan.
***
Bertebaran di ruang ini
Benda-benda bisu tuli berbaur
Ada yang mencucuk mata, ada yang sukar dipandang:
Jambang bunga di sudut,
Poci the menyembunyikan wajahnya;
Isi almari, aneka ragam
Berkerumun menuju kekosongan.
Sepasang bingkai jendela pecah tergeletak di sisi tirai
Sekonyong kulihat tirai memerah sendiri
Kulihat tapi tak kusaksikan.
Cahaya pagi mengusut liku-liku desain permadani,
Di situ – taplak meja hijau; lama telah kukhayalkan
Agar menyala warnanya di mataku.
Kini kehijauan terkubur, seakan asap rokok
Dan ia tetap berada di situ sekaligus lenyap.
Pengambilan barang ada di sini, penaruh penuh kertas
Aku lupa membuangnya jauh-jauh.
Almanac condong ke arah meja,
Mengingatkan aku bahwa kini tanggal delapan,
Botol minyak rambut merebut cahaya;
Jam berdetak: sulit kulihat.
Dekat dinding
Sebuah rak, penuh buku –
Banyak yang tetap tak dikenal.
Gambar-gambar yang kugantung
tampak bagai hantu, terlupakan,
garis-garis babut yang dulu mengucap jelas
kini hamper membisu.
Hari-hari lenyap, kemarin dan kini
Terbaring tanpa pertalian.
Di ruang sempit ini
Ada benda yang karib, begitu banyak yang asing,
Dan meja lintas sejenak
Lewat mata yang biasa terpejam.
Betapa banyak yang hilang dari apa yang kupandang.
Tapi tanpa acuh kusebrangi dan kusebrangi lagi
Jembatan antara yang dikenal dan tak dikenal.
Seseorang menaruh sebuah foto bocah
Di bawah bingkai kaca; cetakan memudar
Ramang mendekati bayangan
Dalam pikiran aku adalah Rabindranath,
Seperti ruang ini
Dalam bahasa kabur, mengharukan
Ada benda yang tampak terang, ada
Yang jauh tersembunyi di sudut.
Banyak yang hampir lupa kupindahkan
Seperti makna yang hilang ini,
Hari-hari silang menyusut
Menghapus haknya mengada.
Bayang-bayang lenyap di tengah yang baru
Dan abjad yang menggeram makna
Tak seorang telah membacanya
YOU ARE READING
Aphorisms From World Figures
Fiction généraleBerisikan kata-kata dan puisi-puisi pilihan dari tokoh-tokoh sastra seluruh dunia.