~Pejuang Kembar~

111 9 10
                                    

Selalu dukung Penulis dengan cara vote dan komentar. Dan kalau bisa, berikanlah saran dan kritik membangun agar cerita ini menjadi lebih baik lagi.

Selamat membaca!

POV: RENHAN YUKOSUO

Aku tidak tahu sejak kapan ada aturan bahwa orang kembar tidak boleh dipisahkan. Semua berkata bahwa kami harus mengenakan baju yang sama dan tetap bersama ke mana pun kami pergi. Orang-orang pikir hanya karena kami kembar, lantas cara berpikir kami sama seolah kami bisa saling berkomunikasi hanya lewat telepati. Atau jika salah salah satu dari kami terluka, pasti yang lainnya akan merasakan rasa sakit yang sama.

Aku sama sekali tidak percaya itu. Bahkan saat dia tersandung batu dan menangis waktu umur kami 5 tahun, aku sama sekali tak ikut merasakan sakit. Aku malah menertawakan dan menganggapnya bocah cengeng.

Aku dan Renhin ibarat es dan api. Meski kami kembar di bagian wajah, kulit, dan tinggi badan, tapi dalam hal-hal lain kami sangat berbeda. Bukan hanya karena aku laki-laki dan dia perempuan, melainkan seluruh sifat kami tak ada yang sama dan saling bertolak belakang.

Sejak kecil, Renhin selalu bertingkah bak seorang ibu dan menganggapku hanyalah bocah nakal yang kerap berbuat onar. Suka mengatur-ngatur segala hal yang kulakukan dan menganggap dirinya lebih baik, lebih dewasa, lebih pintar, dan terutama lebih tua dariku. Justru jika melihat faktanya, akulah yang lahir lebih dulu dan praktis menjadikan diriku seorang kakak dan dia yang adik. Harusnya dia yang lebih menurut pada ucapanku. Bukan sebaliknya.

"Itu karena kau terlalu bodoh untuk mencerna segala hal yang ada di dunia ini. Terlalu bodoh untuk ajdi panutan," kata Renhin dengan sifat sok ngaturnya saat aku mulai menggerecok soal siapa yang adik dan kakak ini.

Meski kami saling memiliki perbedaan pendapat, tapi tak dimungkiri bahwa kami memang terikat dengan semacam benang merah.

Takdirlah yang mengharuskan kami tetap bersama.

Takdirlah yang menuntut kami untuk saling mendukung dan melengkapi satu sama lain.

Seperti yang sering dikatakan Renhin. Dua raga menjadi satu kesatuan utuh.

Semua dilakukan demi keberhasilan rencana besar yang telah kami susun di tanah ini. Di dunia yang bukan hanya dihuni para arwah. Tapi juga segala macam setan, demit dan monster jadi-jadian. Beberapa sudah kami jumpai. Bahkan kami bertarung dan berhasil melenyapkan mereka tanpa kendala yang berarti.

Kurasa mungkin sudah berminggu-minggu kami menjelajahi alam ini. Aku sendiri tak tahu pasti. Waktu di sini tak berjalan sama seperti di dunia manusia.

Saat awal kami berdua masuk melewati portal, kami sempat melakukan riset.

Riset yang kami lakukan adalah mencoba kembali ke alam dunia setelah berada di sini selama 15 menit.

Saat kembali, kami mendapati hutan gelap tempat bangunan keramat berada kini sudah dikelilingi pedesaan.

Kamu kembali dalam portal. Diam di sini selama 6o detik sebelum berbalik ke dunia. Desa itu sudah jadi puing-puing reruntuhan.

Sejam kemudian, desa itu masih puing-puing.

Tiga menit kemudian, puing-puing pedesaan sudah tergantikan oleh kota kecil yang cukup modern.

Aku sempat mencoba untuk kembali ke dunia manusia seorang diri. Menyuruh Renhin menetap di sini. Atau sebaliknya. Tapi rupanya dia enggan. Dan aku hanya bisa geleng-geleng saat dia berkata mengkhawatirkanku.

Saudara kembarku itu memang aneh. Kadang dia khawatir. Kadang marah-marah dan mengataiku. Seringnya memukul kepalaku, mencak-mencak saat aku bertingkah konyol dan membuat dirinya merasa malu di hadapan semua orang—atau arwah-arwah.

Kie Light #3: Jagad ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang