2-1; Pahatan Tuhan

20 4 0
                                    

Ini aku, lelaki dingin dengan kekasarannya. Lelaki penakut ketika berhadapan denganmu yang usang. Aku tidak mengerti, mengapa kamu mencintaiku begitu besar. Padahal, aku telah menyakitimu begitu parah. Apa yang kamu lihat dariku Penyihir?

Ansfelden, 12 Maret 2013

****
Kami terdiam cukup lama, luka-lukanya telah diobati oleh tim kesehatan. Sudah sedikit membaik, ia memiringkan tubuhnya. Tak berniat menatapku dengan keadaannya yang telah kacau. Hingga akhirnya ia memiringkan tubuhnya kembali. Menatapku tanpa takut.

"Makasih Kak," ia memberi senyuman. Begitu manis, ah aku mulai tertarik dengan senyumannya. Sungguh manis, dan menawan. Demi apapun, aku menyukainya.

Tampaknya, aku mulai gila lagi dan lagi. Hanya dengan senyumnya, ia dapat mendebarkan jantungku dengan gila. Sungguh, ini mustahil.

"Aku nggak tau kalau Kakak nggak dateng tadi," ia bergumam sangat pelan. Mendudukkan dirinya dengan lembut. Lalu menatapku kembali. "Makasih banget Kak," selain murahan, cacat, dia cukup berisik.

"Lo berisik," ia kembali tersenyum. Mencoba berdiri dan aku membiarkannya. Wajahnya yang terluka, bukan kakinya. Bagiku, aku tak perlu membantunya.

"Makasih untuk kesekian kalinya lagi, Kak," ia membungkuk. "Senyum dong Kak! Jawab sama-sama," ia menuntut. Aku hanya terkekeh pelan, memberi senyum picik dan meninggalkannya dalam hening. Membiarkan hatinya meringis akan perlakuanku. Meski aku tahu, ia tidak memperdulikan itu.

Hingga saat aku kembali berbalik. Ia tetap tak bergeming. Masih berdiri dengan mematung. Menatapku dengan lembut. "Sama-sama," jawabku lalu membuka pintu dan menutupnya cukup keras.

****
Ada ribuan hati yang dapat aku luluh lantahkan dalam hitungan detik. Namun, ketika aku bertemu denganmu. Aku tahu, aku tak dapat meluluh lantahkan hatimu begitu singkat. Hatimu begitu kokoh. Tak tersentuh. Bahkan, ketika aku memohon untuk dirimu datang padaku. Mengatakan rasa. Tetap saja, kamu menolak. Bertutur begitu lembut. Lalu meninggalkanku dalam senyapnya hati yang mati rasa.

Senyumku merekah, menatap buku diary yang selalu menjadi sebuah tulisan yang paling aku sukai. Sampulnya bewarna hitam putih, keabu-abuan. Seperti dirinya. Ada kata-kata mungil yang sulit kuterka apa. Selalu menjadi tanda tanya. Ini adalah buku hariannya. Gadis manis dengan segala cerianya. Gadis kecil dengan segala ceritanya.

Di pojokkan kelas, aku merenung. Membaca berulang kali hingga waktu istirahat usai. Lonceng berbunyi begitu menggema. Membuat aku---harus menutup lembar-lembaran berikutnya. Menyimpannya dengan rapih pada tas.

"Selamat pagi Gadis kecil, aku masih sibuk merindukanmu." Aku bergumam begitu pelan. Hingga tiba-tiba saja suara menggema, memenuhi kebisingan pada kelas. Membuat aku menatap siapa pelaku itu. Ah, rupanya Agnes. Dia tidak letih rupanya.

Saat ia ingin melangkah mendekatiku, tiba-tiba saja Shawn menghalanginya. Menutupi akses langkahnya. Aku mengerinyit, begitu samar. Shawn tersenyum manis, "Selamat pagi Agnes manis. Mau nyamperin gue ya?" Agnes kikuk. Ia menunduk pelan lalu menghela napas. "Aku mau ketemu sama Kak Lucas, bukan Kakak kok."

Kembali lagi, aku ingin tertawa. Hari ini, ia telah ditolak dua kali. Sungguh memalukan, bukan?

Agnes kembali melangkah, menuju aku yang masih terduduk. Menatap papan tulis dengan datar. Tak ada yang ingin aku bicarakan hari ini, nanti, ataupun lusa. Aku sudah banyak tertawa tadi karena kebodohan Shawn. Lalu, tadi beberapa kata aku lontarkan pada si buruk. Mulutku telah keram.

If (You Are There)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang