Sedang apa kamu? Bagaimana harimu? Bagaimana dengan imajinasi gilamu? Bagaimana warnamu sekarang? Bagaimana hatimu? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana. Aku letih bertanya, tapi aku penasaran atas keadaanmu.
Aussie, 11 Agustus 2014.
****
Aku terbangun di basahnya lantai. Bersamaan suara sekretaris Ayah. Memanggil namaku berulang-ulang kali. Tubuhku terasa sangat kebas, bersamaan bunyi tulang yang aku patah-patahkan. Aku berdiri, tubuhku terasa basah.Rasanya, aku mati rasa saat tertidur. Bagaimana bisa aku tertidur di keadaan basah begini? Sangat aneh, bukan?
Sekretaris Ayah menatapku lekat. "Kau bertengkar dengan Ayahmu, lagi?" Aku hanya mengerinyit samar. Tumben sekali ia menanyakan keadaan aku dan Ayah.
"Tumben sekali kau bertanya," komentarku tanpa menatapnya. Aku berjalan memasuki kamar mandi. Mencapai handuk donker. Meninggalkan sekretaris Ayah yang berucap kembali. Membiarkan suaranya terbawa oleh angin. Tertinggal dalam hanyutnya udara.
Hari masih sangat pagi, aku tahu. Aku tidur di balkon dan terlihat langit masih menghitam. Aku kembali menenggelamkan tubuhku pada bath up. Membiarkan busa-busa sabun memenuhi tubuhku.
Setelahnya aku berdiri dari bath up, mencari shower dan menyirami pada tubuhku yang dipenuhi busa. Mataku memerah, terlihat di kaca depan kamar mandi. Aku tersenyum kecil, lalu menyapukam air pada tubuhku lagi.
Setelah itu, aku kembali menapaki lantai yang telah mengering. Menatap sekeliling kamar yang hanya meninggalkan aku sendirian. Entah ke mana sekretaris Ayah. Mungkin saja, ia sudah pergi ke kantor.
Aku membalut handuk pada tubuh kekarku hingga selutut. Membuka lemari yang begitu rapih dengan semerbak harum. Aku tersenyum kembali, harum ia kembali tercium dan aku selalu menyukainya.
Mengambil seragam dan memasangnya begitu lamat. Mataku tak henti-hentinya berujar, jika ia kelelahan. Atas malam yang dingin di bawah rintik.
"Tuan, ayo sarapan," asisten rumah memasuki kamarku sekali ketuk. Menatapku dengan menunduk malu. Ah, dia babu barukah? Masih terlihat muda.
"Lo baru?" Aku tidak bisa menutupi nada sinisku. "Lo babu atau pelayan Ayah?" Seketika wajahnya memerah, menunduk lebih dalam. Bahkan ia tergagap.
"Saya babu Tuan," ia berucap lembut. Lalu aku tertawa kecil. Menggeleng dan melewatinya. Meninggalkan ia di dalam kamar pengap itu. Meski beberapa detik selanjutnya ia berjalan mengikutiku.
Aku melewati pagi seperti biasanya, bersama senyap. Tanpa gaduh yang ceria. Tanpa tawa keluarga kecil di saat sarapan menuju tugas. Tanpa ucapan perpisahan ketika meninggalkan rumah. Tanpa ada senyum yang mewarnai ruang-ruang rumah. Dan aku berkhayal atas angan yang takkan tergapai.
***
"CACAT! LO TAU NGGAK HANDPHONE GUE INI BERAPA HARGANYA?! HAH?! BRENGSEK LO!" Gaduh sekali pagi yang kelam ini. Bersamaan wajahnya yang berdarah lagi. Bersamaan cercaan yang ia dapatkan untuk kesekian kalinya.Aku menatap dari kejauhan, wajahnya yang telah berdarah. Lalu, aku berlari-lari kecil. Mereka mulai kelewatan. Berapa harga handphone itu? Apa handphone itu sebanding dengan senyumnya yang masih terukir dan wajah pedihnya yang berulang-ulang kali meminta maaf. Apa sebanding? Oh, manusia biadab di dunia semakin bertambah rupanya.
Saat telah di hadapannya, aku memeluknya dalam dekap hangat. Melindunginya dari terjangan luka. Mataku memerah, umpatan telah diujung tenggorokkan. Aku tidak sabar. Sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
If (You Are There)
RandomIni kisah kita Penyihir mungil. Aku akan menceritakan bagaimana dirimu menyihir hatiku hanya dengan tawamu. Kita akan tetap abadi, aku berjanji. Kamu akan abadi dalam tulisan ini, kamu akan abadi dalam gelapnya malam, kamu akan abadi dalam hatiku. ...