Bumi

5 0 0
                                    

Aku terus mengoceh tanpa tujuan di depan Bumi. Surat pengunduran diri kusematkan di papan dada dan masih kupeluk kuat-kuat. Aku ingat, aku menangis waktu itu. Dan laki laki di depanku itu masih diam tanpa kata. Aku berusaha kuat, aku sodorkan pelan-pelan surat pengunduran diri.

“Ini Pak, sudah enam tahun saya kenal Bapak. Dan mungkin, hari ini saya mengecewakan Bapak. Ini surat pengajuan pengunduran diri saya, Pak!”

Bumi menerima dengan cepat. Lalu ditaruhnya di atas meja.

“Senja, saran saya, kamu jangan berhenti bekerja, pergilah ke psikiater. Kamu perlu psikiater!”

Jleb, ucapannya membuat airmataku turun perlahan.

Setiap aku kacau, aku sering bercerita banyak seperti ini pada dia.

Dia, Bumi ... orang yang orang lain benci, yang pernah sempat aku benci juga, maafkan aku, karna dulu dia memang menyeramkan. Tapi di tahun ke enam, dia satu-satu nya orang yang banyak menangkap keanehanku, dan dia juga yang membuat aku nyaman bercerita tentang perjalanan hidupku yang aku sendiri pun tak tahu alurnya bagaimana.

“Berobat ke psikiater itu bayarnya mahal, jangan resign, uang gaji kamu bisa kamu pakai buat biaya ke psikiater!” katanya menasehati.

Lalu dia meraih surat pengajuan pengunduran diri itu dan merobek–robeknya di depan mataku.

"Kamu sudah terlalu banyak mengoceh hari ini. Sudah ya."

Bumi berdiri dari tempat duduknya, melangkah pergi meninggalkan aku sambil menepuk pundakku pelan.

"Take care, Senja!" senyum Bumi merekah. Menenangkan.

"Senjaaaaa ... ayo pulang!" suara Langit.

"Tunggu!" aku bangkit dan menghapus airmata di pipi.

Berlari cepat mengejar Langit.

23.40 • Manic Episode

TERUNTUK JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang