Kemarin, senja itu, aku masih ingat kata-kata penuh kekuatan yang menguatkanku untuk selalu kuat. Dalam diam aku mengagumi setiap kata yang keluar dari tuturnya, dan segala caranya memanjakan aku yang manja keterlaluan.
Senja ... aku selalu rindu perhatiannya, ketulusannya, dan barisan kata katanya yang berhasil mengukir senyum kecil. Aku dan perasaan apa ini? Entahlah.
Hampir setiap senja ia hadir dengan wajah menenangkan, lalu mengerdipkan matanya seolah mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah kupahami. Aku tak pernah ingin tahu tentang perasaannya. Biarkan saja seperti ini. Apa adanya. Tak pernah berharap menjadi ada apa-apa.
Pernah di suatu senja, semangat hancur tak bersisa, hanya sekejap harapan dan ketangguhan lenyap begitu saja. Lalu ia menyapa. Di bawah langit senja dia mengulurkan tangannya seraya menahan untuk tetap tinggal. Senja, aku ingin pergi. Dia kalah. Lalu menguatkan aku dengan kata kata indah dikala senja.
"Senja, aku rindu. Temui aku di senja esok hari!" katanya berbisik.
****
"Cerita macam apa ini? nulis apa ini?" aku kesal dalam hati, menyangkal.
Kurobek halaman ini dari buku diaryku.
"Hanya khayalan, tak perlu diabadikan," pikirku kala itu.
Jam istirahat masih ada tiga puluh menit lagi. Aku malas makan siang ini, jadi kuhabiskan waktu istirahatku untuk menulis.
Bagiku, menulis adalah terapi. Seseorang pernah berkata, "Jika malam mu sendirian, ketakutan, suamimu sudah tidur, teman terbaikmu tak membalas lagi pesanmu dan tak ada satu orangpun yang rela mendengarkanmu, menulislah, aku akan membacanya esok hari saat senja."
Yap, seseorang itu. Berarti, bagiku.
Aku kehabisan akal, tentang apa yang harus kutulis lagi, tak ingin berkhayal terlalu dalam, tak ingin gila lebih cepat.
"Ini air minum nya nyonya Senja!" Langit menyodorkan sebotol air mineral dingin dan menaruhnya di meja ku, di sebelahku.
"Eh, makasih! Ini ..." Aku keluarkan uang lima ribuan dari saku celanaku, mengganti uang beli air minum pemberian Langit.
Sudah biasa jika aku tidak makan ke kantin kuminta dibelikan air mineral, kebetulan Langit yang selalu mau kusuruh. Selalu Langit.
Langit berlalu, tangannya melambai sambil membalikkan badan ia bilang, "Kali ini gratis, besok bayar!"
Aku tertawa mengikik, tumben Langit ga pelit. Hanya hari ini. Besok, lima ribu ditagih jadi sepuluh ribu.
****
Aku pulang dari kantor lebih awal, tidak seperti biasanya, selalu selepas senja aku baru sampai di rumah. Tapi hari ini kepalaku sakit sekali, perut perih melilit, mungkin akibat tidak makan siang tadi, selalu saja, harus menikmati hasilnya.
Kucari obat-obatan penghilang rasa nyeri kepala dan perut perih, namun tak berhasil, tak ada satupun obat minum di kotak obat. Hanya sisa kain perban dan obat luka luar.
Kulempar kotak obat ke tembok, dan "BRUKK!" suaranya meningkatkan moodku, semakin naik, aku marah.
Kubuka setiap tempat penyimpanan, sambil terus bergumam geram, "Dimana obat, obat dimana?"
Semua berantakan, tak kutemukan apa apa.
Aku berteriak, "Aaargggh, aku benci semua ini!"
Dari luar pintu rumah kudengar suara kaki seseorang yang berlari memburuku.
"Sayang, kamu kenapa?"
Gema, suamiku.
Dia menubruk badanku, lalu memelukku erat. Dia menangis. aku tak suka.
Aku melepaskan pelukannya.
"Aku capek, aku ingin istirahat," pintaku tegas.
Dia diam, bergegas membereskan semuanya yang berantakan hasil karyaku, hasil karya pencarian obat yang tak kunjung kutemukan.
Dia tak tau aku sakit. Dia sibuk sendiri, membereskan semuanya.
Aku lari ke kamar, membaringkan tubuhku di tempat tidur. Tertidur, bukan tidur. Setengah jam kemudian aku bangun.
Kepalaku masih sakit, berat sekali. Kulihat Gema sedang makan sambil menonton televisi, dan dia tertawa karna apa yang ia tonton. Sepertinya dia lupa bahwa tadi ia sempat menangis. Tangisan macam apa itu!
Aku muak. Dia tak mempedulikan aku (lagi).
Sudah senja, langit senja kuintip dari jendela kamar mandi.
Dan tiba tiba ...
"Senja, aku rindu" suara itu, terngiang-ngiang di telingaku.
"Senja, cerita sama aku, kamu kenapa?" sekali lagi, suara itu lagi.
"Senja, temui aku di senja esok hari, ya!" katanya sambil mengembangkan senyum manisnya.
Lalu menghilang.
Kututup telingaku rapat-rapat.
"Senja, aku masih disini! menulislah, besok kubaca semua catatanmu!" tangannya mengelus rambutku.
Lalu menghilang.
Aku tersenyum kecil.
00.05 • Depression Episode
KAMU SEDANG MEMBACA
TERUNTUK JIWA
De TodoTeruntuk Jiwa adalah sebuah catatan dari jiwa seorang penyintas bipolar disorder. Baginya, mencatat setiap kata yang berperang dalam pikiran adalah satu-satunya cara untuk bersuara, cara dimana ia bisa menuangkan segala usahanya melewati setiap fase...