- 2. shock

57 10 5
                                    

Takdir saat itu mulai bermain dengan kami.

Absen milikku dan Jeno ternyata atas-bawahan, sehingga kami sering berada di kelompok yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Absen milikku dan Jeno ternyata atas-bawahan, sehingga kami sering berada di kelompok yang sama. Kebetulan kami juga mengikuti klub yang sama, yaitu Taekwondo. Namun, Jeno lebih sibuk di OSIS yang menyebabkan dia sering sekali terlambat datang ke klub.

"Maaf, gue barusan ada rapat," kata Jeno setiap kali telat. Aku memakluminya, aktif di organisasi bukanlah hal buruk.

Saat kelas 10 semester 2, Jeno semakin sibuk.

Itu membuatnya ketinggalan pelajaran.

Jeno hampir stress. Nilai-nilainya turun drastis.

Dia akhirnya memintaku mengajarkan beberapa mata pelajaran yang dianggapnya sulit. Aku dengan senang hati melakukannya. Toh, kita ini teman. Apa salahnya membantu teman?

Jeno dan aku menjadi semakin dekat. Kami hampir selalu terlihat bersama di manapun. Di kelas, perpustakaan, kantin, gazebo, dan cafe dekat sekolah. Kami bahkan sudah saling mengunjungi rumah masing-masing.

Orang-orang mengira kami pacaran. Aku tentu saja membantahnya, tapi tidak dengan Jeno.

"Biarin aja," katanya ketika aku protes mengapa Jeno hanya diam setiap kali ditanyai apakah kami berpacaran.

"Lagi pula, pendapat orang lain itu nggak diperlukan sama sekali. Terserah mereka mau ngomong apa, yang jalanin tetep kita."

Aku akhirnya hanya bisa menurut.


Puncaknya ketika hampir kenaikan kelas 11, saat persiapan pensi, Jeno membuatku tak tahan lagi.

Kelas kami baru selesai membuat properti pensi untuk tampil esoknya. Langit sudah menggelap dan jarum pendek jam telah menyentuh angka 9. Satu persatu teman kami sudah pulang.

"Lo balik sama siapa?" tanya Jeno. Aku mengangkat bahu. "Mungkin sama Jaemin, soalnya searah," jawabku menyebutkan nama salah satu teman sekelas kami.

Jeno terdiam. Ekspresinya sulit ditebak. Aku diam menunggu reaksinya.

"Pulang sama gue."

Aku langsung menolak, "rumah lo lebih jauh daripada rumah gue, kita juga nggak searah."

Jeno bukanlah Jeno jika dia tidak keras kepala.

"Nggak mau tau, pokoknya lo harus pulang sama gue! Gue udah chat Jaemin buat larang nganter lo," katanya tanpa beban.

"Lee Jeno!" seruku penuh amarah.

"Lo itu kenapa sih selalu begini? Orang lain bisa salah paham tau nggak? Kita sering keliatan bareng, entah itu ngantin, pas main ke mall, atau belajar di perpustakaan," aku mulai emosi. Malam itu, semua yang kupendam lebih dari 6 bulan terbongkar sudah.

"Lo tau? Gue kena imbasnya. Orang-orang mengira kalo kita pacaran. Lalu mereka yang suka sama lo jadi sering gosipin gue yang nggak bener, mereka jelek-jelekin gue dan mengganggap gue nggak setara dengan lo. Gue disiksa secara mental, Jen," meskipun ditahan sekuat apapun, air mataku tetap jatuh.

Aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Rasanya sakit mengingat perlakuan yang kuterima dari sebagian besar murid di SMA NEO karena Lee Jeno.

Aku mendengar Jeno mendekat, langkah demi langkah.

Dan tanpa aku duga sedikitpun, dia malah melingkarkan kedua tangannya ke tubuhku. Lee Jeno memelukku. Hangat.

"Sorry," bisiknya tepat di telingaku. Suaranya berat, sarat oleh penyelasan.

"Gue sama sekali nggak tau. Gue pikir lo baik-baik aja. Maafin gue," kata Jeno, semakin mengeratkan pelukannya.

Aku balas memeluknya.

Lalu Jeno mengantarku pulang dengan motornya. Diperjalanan, kami diam membisu. Tak ada yang membuka percakapan. Ini termasuk kejadian langka sebab aku dan Jeno biasanya sekali membicarakan hal-hal yang tidak penting.

Contohnya seperti mengapa Squidward cuma memakai baju sementara Patrick hanya menggunakan celana.

"Liv, tunggu. Gue mau ngomong sesuatu," kata Jeno begitu aku turun dari motornya karena sudah sampai ditujuan.

Aku berbalik dan menatapnya, "Apa?"

Jeno meneguk ludah. Ia nampak gugup sekaligus bingung. Seolah dia akan memberitahuku sesuatu yang memalukan namun penting.

"Gue... gue suka," kata Jeno ambigu.

Aku menaikkan sebelah alis. "Suka apa?"

"Guesukasamalo," jawabnya cepat sembari memejamkan mata. Sedangkan aku sukses membuka mulut.

Jadi.... Selama ini...?

Aku bukanlah seorang yang munafik. Maka, aku membalas perkataannya. "Gue juga," kataku, seketika kedua mata Jeno terbuka lebar.

Ia tertegun.

Ia tertegun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Hi!!!

gimana menurut kalian???

Jangan bosen ya sama cerita ini, aku akan berusaha bikin story line yang menarik. Oh ya, jangan takut buat kasih kritik dan saran yaa~~💚💚

xoxo,
vanilla.

irreplaceable [jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang