"Kamu memang tersenyum, tapi ada sedih yang tersembunyi dibaliknya."
---
"Park Siyeon itu orang yang ngancurin mimpi aku."
Aku mengerutkan kening tak mengerti mendengarnya.
Park Siyeon?
Bagaimana mungkin?
Dia terlihat baik tadi, tersenyum manis serta menyapa Jeno lebih dulu. Aku tidak bisa membayangkan jika gadis itu bisa merusak mimpi orang lain. Terutama Jeno.
Jeno menyandarkan tubuh ke kursi. "Kamu pasti penasaran kenapa bisa kayak gitu, kan?" tebaknya, tepat sasaran.
Aku mengangguk. "Tadi dia keliatan ramah banget, terus sopan. Kalo bukan kamu yang ngomong mungkin aku gak bakal percaya," aku mengakui.
Jeno mendengus kecil. "Yeah, aku awalnya juga nggak percaya dia setega itu sampai ngerusak mimpi aku."
"Semua itu terjadi saat aku kelas 3 SMP, hampir masa-masa ujian. Siyeon ngambek karena aku nggak pernah meluangkan waktu buat dia. Childish emang, yah, tapi namanya juga masih SMP," mulai Jeno.
Aku diam, mendengarkan dengan konsentrasi penuh.
"Terus... Siyeon tau selain belajar, aku juga sibuk gambar. Dia marah, dia ngancem bakal kasih tau Mama kalo aku nggak nurutin segala kemauan dia. Disitu aku mau nggak mau ikutin omongan Siyeon," Jeno mencengkram kemudi, agak emosi menceritakan masa lalunya yang menurutku sangat menyedihkan.
Bukannya melanjutkan, Jeno justru jadi diam selama beberapa waktu.
Aku bergerak gelisah, tak sabar mendengar yang terjadi selanjutnya.
"Abis itu apalagi, Jen?" tanyaku.
Jeno menoleh ke arahku, tanpa terduga malah tersenyum manis. Ia merapikan rambutku. "Besok besok aku ceritain lagi ya? Sekarang kita harus pulang," katanya lembut.
Aku mencebikan bibir. "Penasaran tauu..."
"Bentar lagi mau ujan, sayang."
Yah. Aku blushing.
"O-oke deh, tapi janji ya besok harus cerita lengkap!" kataku, agak salah tingkah. Jeno tertawa kecil, tangan yang tadinya merapikan rambutku beralih jadi mengusap pelan.
--"... Liv?"
"Liv? Livia?"
"Sayang, bangun."
Aku membuka mata yang terasa sangat berat.
"Udah sampe rumah."
Kedua mataku seketika terbuka lebar. Terpampang nyata di depanku komplek perumahan yang telah kutempati sejak lahir. Padahal sepertinya tadi kami masih terjebak macet.
Kutolehkan kepala kearah Jeno, yang ternyata tengah mengamatiku.
"Aku tidur berapa lama?" tanyaku. Jeno menjawab dengan nada ringan, "satu jam."
"Maaf, ya," ucapku. Aku tak bisa membayangkan rasanya terjebak macet bersama orang yang ketiduran, pasti kesepian sekali.
Bukannya marah, Jeno menggeleng, "Nggak papa, aku tau kamu capek. Nanti dilanjut tidurnya."
"Iya. Aku pulang, ya?"
Jeno mengangguk.
Setelah melepaskan sabuk pengaman, aku berniat membuka pintu. Namun, seperti dulu, Jeno menghentikanku.
"Maaf ya, Liv."
Aku menoleh, menatapnya tak mengerti. "Buat apa?"
Sebelum Jeno sempat membuka mulut, aku berkata, "karena Siyeon dateng? Nggak papa kali, Jen, itu bukan salah kamu. Diajak ke pameran aja aku udah seneng."
Jeno akhirnya mengangguk. "Titip salam buat Mama."
Akhirnya, aku masuk ke rumah. Di ruang keluarga, aku bertemu Mama dan Papa yang tengah menonton berita. Aku memasuki kamarku yang berada di lantai dua, masih gelap karena lampu belum dinyalakan.
Click.
Setelah aku menekan saklar, aku mendengar suara mobil yang bergerak menjauhi rumah.
Ah, Jeno baru saja pulang.
---
Halo semua!!!
Maaf banget baru update huhu sebenernya aku pengen istirahat bentar, tapi kemarin liat dreamies jadi semangat nulis lagii.
So, menurut kalian part ini gimana? Kritik, saran, dan vote ya jangan lupa hehehe💚💚💚
xoxo,
vanilla~
KAMU SEDANG MEMBACA
irreplaceable [jeno]
Fanfiction"you're irreplaceable, lee jeno." [Lokal] © vanillatosca, 17-11-2019