Praktis semenjak hari itu, kami berpacaran.
Memang acara menembak waktu itu tidak romantis. Namun yang penting adalah berjalannya hubungan kami. Lebih tepatnya adalah efek dari hubungan kami yang naik satu tingkat ini.
Dari sahabat, jadi pacar.
Lee Jeno menjadi lebih positif. Dia yang awalnya stress oleh menumpuknya tugas OSIS, turnamen Taekwondo yang semakin dekat, dan pelajaran, kini jadi lebih hidup.
Aku pun terbantu. Tidak ada lagi yang berani melakukan bully terhadapku. Mereka semua mundur teratur kala Jeno selalu berada disebelahku, melindungiku dari mereka semua.
"Liv?"
"Ya, Jen?"
Saat itu kami berada di rumahku untuk mengerjakan tugas. Kami masih mengenakan seragam sekolah, meski Jeno sudah melepas kancing seragamnya yang menampilkan kaos polos, sementara aku sudah mengganti rok dengan celana training yang nyaman.
Jeno meletakkan pensil yang tadinya digunakan untuk menulis rumus implikasi. "Ada pameran seni di deket sekolah," ujarnya pelan.
Oh...
"Kamu mau ke sana? Aku ikut, ya? Sekalian bawa kamera, udah lama feed instagramku gak diupdate," cerocosku begitu saja. Jeno seketika tersenyum lebar.
Aku paham jika Jeno sangat menyukai dunia seni. Dia pandai bermain gitar dan piano, juga menggambar. Namun kedua orang tua Jeno sama sekali tidak mengganggap seni bisa menjamin hidup enak. Menurut mereka, seni hanya membuang-buang waktu.
Meskipun aku hanya pacar Jeno, aku akan mendukung pilihan Jeno sepenuh hati. Karena ketika Jeno bermain gitar, piano, atau membuat sketsa di atas kertas, dia terlihat bahagia. Sangat bahagia hingga aku bisa seyakin ini.
"Oke deh, besok aku jemput jam 3 sore, ya," kata Jeno, masih tersenyum.
Aku menatap Jeno, lebih tepatnya menatap senyum milik Jeno yang membentuk matanya mirip bulan sabit. Senyum yang membuatku jatuh padanya.
Aku mengangguk, "iya."
---
Pukul 15.20, kami memasuki gedung pameran. Ada banyak benda yang dihadirkan di sana, tetapi yang paling banyak adalah seni bentuk dua dimensi.
Aku memperhatikan setiap karya dengan kagum. Semuanya benar-benar aesthetic. Para seniman ini jenius sekali.
"Jen, Jen! Fotoin aku di sana, dong!" Aku merengek sembari menunjuk salah satu lukisan. Jeno tertawa renyah melihat sikapku yang seperti anak kecil, lalu dia mengangkat kameranya.
"Satu, dua—" Jeno memberi aba-aba.
Aku segera berpose.
Setelah mengambil foto tiga kali, kami berkeliling. Pengunjung yang datang cukup banyak, mungkin karena faktor hari libur.
KAMU SEDANG MEMBACA
irreplaceable [jeno]
Fanfiction"you're irreplaceable, lee jeno." [Lokal] © vanillatosca, 17-11-2019