***
Isabelle melangkah ragu menatap bangunan tinggi di hadapannya. Untuk perusahan besar seperti yang dikatakan ayahnya, daerah ini cukup terpencil. 'Apakah benar ini tempatnya?' batinnya dengan rasa tidak yakin.
'Tapi alamatnya benar. Kenapa mereka mendirikan perusahaan di tempat terpencil seperti ini?' Isabelle bergidik membayangkan pekerjaan-pekerjaan mengerikan yang biasa dilakukan oleh orang-orang di dalam gedung itu. 'Bagaimanapun juga kan mereka bergerak di bidang keamanan.' pikirnya gelisah. 'Ya ampun. Kegilaan macam apa yang akan kutemukan di sini?' pekik Isabelle dalam hati.
Isabelle hampir berteriak kaget ketika seseorang berdehem dari belakangnya. "Apa yang anda lakukan di sini, Miss? Tidakkah kau berniat untuk masuk?" ucap seorang pria yang tadi mengizinkannya masuk gerbang sebelum memarkir mobilnya. Dari name-tag nya, Isabelle tahu bahwa pria itu bernama Ferdinand Hayes. Perawakannya gagah, sesuai untuk pekerjaannya sebagai penjaga gedung besar di depannya itu.
"Oh, tidak-tidak, eh.. maksudku iya. Aku hanya tidak yakin ini benar-benar gedung yang kumaksud," jawabnya dengan senyum sedikit terpaksa.
Pria itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Bukankan namamu Isabelle Collins? Kalau memang iya, berarti kau tidak salah tempat, Miss. Kalau namamu tidak ada dalam daftar pengunjung hari ini, kupastikan kau tidak akan bisa melewati gerbang tadi."
"Ah, begitu. Baiklah kalau begitu aku akan masuk ke dalam," jawabnya dengan sedikit terburu-buru sebelum bergegas memasuki gedung di hadapannya. Isabelle disambut oleh resepsionis wanita yang mungkin seumuran dengan ibunya, tapi bedanya wanita itu memiliki senyum yang tulus, berbeda jauh dengan ibu Isabelle.
"Apakah kau adalah Miss Isabelle Collins? Senang sekali bertemu dengan seorang rekan kerja wanita di sini," ucapnya dengan raut wajah berseri-seri, membuat Isabelle merasa diterima namun juga kebingungan.
"Benar, namaku Isabelle. Apa maksudmu dengan perkataan tadi? Memangnya tidak ada staf wanita di sini?" tanyanya dengan dahi berkerut.
Wanita itu tersenyum. "Setahuku selain diriku dan beberapa wanita yang sering membantu membersihkan tempat ini, tidak ada lagi yang lain. Lagipula para perempuan itu hanya berada di sini kalau sedang dibutuhkan saja," ungkapnya membuat Isabelle melongo.
"Aku tidak akan menahanmu di sini lebih lama lagi, karena kau telah ditunggu. Di lantai teratas, sayang. Semoga beruntung," katanya sambil mengedipkan matanya pada Isabelle dan melambaikan tangannya dengan gerakan mengusir.
Isabelle yang masih kebingungan, setengah sadar melangkahkan kakinya ke lift yang berada di sudut belakang lobi dan menekan tombol untuk lantai teratas. Ia merasa bodoh sekali ketika menyadari bahwa tadi ia lupa bertanya ruangannya di sebelah mana.
"Ah sudahlah, lagipula sudah terlanjur. Semoga ada orang yang bisa ditanyai," harapnya.
Sesampainya di lantai 15, yang merupakan lantai tertinggi gedung itu, Isabelle tidak perlu waktu lama untuk menemukan ruangan yang dicarinya, karena di sana hanya ada satu ruangan.
"Syukurlah. Aku tidak perlu kebingungan mencari ruangannya," batinnya dengan perasaan lega.
Isabelle melihat pegawai pria di depan ruangan itu. 'Mungkin sekretaris atasan di sini,' ucapnya pada diri sendiri.
"Selamat siang. Apakah anda adalah Ms. Isabelle Collins?" tanya pria itu dengan raut wajah yang terlihat terlalu gembira.
"Ya, itu benar," ucap Isabelle dengan nada ragu. Ia merasa orang-orang yang ditemuinya di gedung ini kelewat ramah, kecuali pria penjaga gerbang depan tadi. Tentunya.
"Sebaiknya langsung masuk saja sekarang. Kau sudah ditunggu, Miss. Bos sudah ada di dalam."
Isabelle melangkah mendekati pintu dan melihat tulisan CEO di sana. Lalu ia mengernyit bingung. "Kenapa aku langsung bertemu dengan CEO nya? Bukankah harusnya diwawancarai oleh bagian HRD?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Always His
WerewolfSemuanya berawal setelah kelulusannya dari dunia perkuliahan yang membosankan. Isabelle Collins, yang ingin membuat orang tuanya bangga, tanpa pikir panjang menuruti perintah ayahnya untuk menjadi asisten pribadi seorang atasan perusahaan keamanan y...