***
Rumah Rafael cukup besar jika dari dilihat depan. Isabelle merasa rumah dua lantai itu sangat sesuai dijadikan rumah keluarga. Catnya yang berwarna krem memberikan nuansa hangat, bahkan jika dilihat pada malam hari seperti sekarang.
"Ayo masuk," kata Rafael yang sudah terlihat tidak sabar menunggu Isabelle tersadar dari lamunannya.
"Emm, kau yakin aku harus tinggal di sini? Apa kata orang nanti kalau kita tinggal bersama?" tanyanya dengan nada gugup pada Rafael.
"Tidak akan ada orang yang akan berkomentar, Belle. Ini rumahku, jadi aku punya hak sepenuhnya untuk membawa siapapun ke dalamnya. Lagipula memangnya kenapa kalau kita tinggal serumah?"
Isabelle menghela napas, "Tentu saja tidak pantas. Kita kan bukan sepasang suami istri," gumamnya pelan.
"Kalau itu yang kau khawatirkan, aku bisa menikahimu kapan saja. Jadi sekarang kita masuk saja oke? Hari sudah semakin malam." Tanpa mengunggu jawaban Isabelle, Rafael menarik perempuan itu ke dalam rumah dan menunjukkan padanya kamar tidur yang akan digunakannya di tempat tinggal barunya itu.
"Kamarku ada di ujung lorong kalau kau membutuhkanku. Lebih baik sekarang kau bersih-bersih, lalu kita makan di ruang makan bawah," titahnya sebelum keluar dari kamar Isabelle yang cukup luas. Kasur di ranjang terlihat sangat nyaman untuk membaringkan tubuhnya yang terasa penat.
"Ah lebih baik aku mandi saja sekarang. Baru sehari saja bekerja, kehidupanku sudah berubah seratus depan puluh derajat," gerutunya pada diri sendiri.
"Lagipula siapa dia itu sampai berpikir bisa menyuruhku semaunya," makinya kesal. "Yah, memang benar dia atasanku. Tapi tidak harus begitu juga kan?" lanjutnya saat memasuki kamar mandi dan melepaskan baju kerjanya yang sudah kotor.
Isabelle mengernyit melihat tanda merah samar yang membekas di kulitnya. "Kenapa masih ada sih? Memperburuk moodku saja, huh." umpatnya kesal. Seharian tadi bercak-bercak itu bahkan telah terlupakan olehnya.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyeretku ke klub malam lagi!" tegasnya pada diri sendiri dan berusaha mengenyahkan pikiran negatifnya. Isabelle bahkan tidak yakin ia masih perawan atau tidak saat ini. 'Benar-benar menyebalkan,' batinnya sambik bersungut-sungut.
Setelah berlama-lama berendam di air hangat, Isabelle memutuskan untuk menyudahi acara mandinya. Ia mengenakan jubah mandi dan tersadar bahwa baju-bajunya masih berada di mobil.
'Aduh, sial,' umpatnya dalam hati.
Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat pakaian yang terlipat rapi di kasurnya. "Siapa yang menyiapkan ini? Rafael?" duganya dengan rasa penasaran.
Isabelle mengenakan pakaian yang terasa pas di badannya dan bertanya-tanya baju siapakah itu. "Ah, sudahlah. Kalau ada di sini berarti dipinjamkan padaku kan?" tanyanya pada diri sendiri.
Setelah itu ia berjalan menuju dapur untuk makan malam. Isabelle menyadari bahwa rumah Rafael sangat sepi. Menduga bahwa laki-laki itu hidup sendirian di rumah itu. "Di tengah-tengah hutan lagi," bisiknya dengan tubuh bergidik. Mungkin ia berlebihan, tapi rumah ini benar-benar dikelilingi oleh pohon-pohon lebat.
Isabelle menyadari bahwa tempatnya makan tadi siang tidak jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Hanya saja rumah ini lebih terisolasi sedangkan tempat yang tadi dikunjunginya berada di tengah keramaian.
Pandangan Isabelle mendarat pada punggung lebar seorang pria yang mengenakan pakaian kasual di depan kompor yang menyala, mengaduk-aduk masakan yang aromanya harumnya berhembus sampai ke indra penciuman Isabelle.
Rafael
'Wow, rupanya dia bisa masak,' batinnya dengan pandangan yang tidak bisa terlepas dari sosok Rafael yang cekatan memasukkan bahan-bahan masakan. 'Dan terlihat sangat seksi.'
"Jangan berdiri di sana. Duduklah!" perintah Rafael yang otomatis membuat Isabelle terkejut. Ternyata diam-diam Rafael menyadari kedatangannya.
Isabelle segera duduk di meja makan yang langsung menghadap ke dapur, yang berarti ia dapat mengamati Rafael dengan leluasa. "Tak kusangka kau bisa memasak," ucap Isabelle dengan nada takjub.
"Memangnya mengapa kau mengira aku tidak bisa memasak? Karena aku seorang pria?" tanyanya dengan membalikkan tubuh sekilas menghadap Isabelle sebelum melanjutkan aktivitasnya lagi.
"Yah, begitulah. Tidak banyak pria yang bisa memasak, terutama seseorang dengan jabatan tinggi sepertimu," ucap Isabelle sambil mengangkat bahunya.
"Kalau begitu kau harus tahu bahwa tidak semua laki-laki seperti yang kau jelaskan tadi. Jangan menilai sesuatu dari tampilan fisiknya saja Belle," jelasnya dengan nada yang sedikit aneh saat mendekati akhir kalimat.
Isabelle mengernyit mendengar itu, 'Apakah Rafael punya pengalaman buruk tentang itu?' batinnya heran.
"Baiklah. Aku tidak bermaksud menilaimu seperti itu. Hanya pandangan orang awam yang baru mengenalmu. Jadi jangan tersinggung, oke?" jawab Isabelle untuk mencoba membuat suasana lebih nyaman. Tapi Rafael hanya diam membisu, fokus pada masakan di depannya.
'Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa sih pria yang satu ini begitu rumit?' ocehnya dalam hati masih dengan pandangan yang diarahkan pada punggung Rafael.
"Makanlah," ucap Rafael beberapa menit kemudian setelah sup ayam buatannya telah matang. Isabelle yang sudah kelaparan segera menyantap makanan di hadapannya.
Setelah merasakan suapan pertama, Isabelle mengerang menikmati kelezatan itu. "Ya ampun. Kenapa bisa seenak ini?" tanyanya tidak jelas ditengah-tengah kunyahannya, yang membuat Rafael terkekeh geli.
Isabelle yang mendengarnya mendadak merona malu tapi segera diganti dengan raut bingung saat ia melihat makanan Rafael masih untuh. "Kenapa kau tidak memakannya? Serius, makanan ini enak sekali," ucap Isabelle.
Rafael menggelengkan kepalanya, "Kau makan saja dulu. Aku akan memakannya nanti. Sekarang, aku belum terlalu lapar," jelasnya.
"Oh, baiklah. Terserah kau saja kalau begitu," jawabnya tak acuh, kemudian berbisik pelan, "Dasar manusia aneh." Dan kembali menikmati makanannya.
Isabelle belum pernah merasakan sup ayam selezat itu. Mungkin karena Rafael menggunakan resep keluarga? Dari ibunya? Sayang sekali ibu Isabelle bukan tipe ibu rumah tangga yang hangat dan sering memasakkan makanan rumahan untuk keluarganya.
Isabelle ingat sekali dengan masa kecil dan remajanya yang dihabiskan di sekolah berasrama. Tapi Isabelle bersyukur untuk itu, karena setidaknya ia tidak pernah sendirian di asrama. Berbeda saat berada di rumahnya sendiri yang sunyi. Isabelle bergidik mengingat rasa dingin yang mengelilinginya ketika pulang ke rumah saat liburan panjang telah tiba.
Tidak pernah ada kehangatan di rumah orangtuanya. Mereka sering pulang larut malam dan tidak meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan satu sama lain.
Isabelle tersadar dari lamunanya saat sebuah tangan mengusap dahinya dengan lembut. "Jangan mengerutkan keningmu seperti itu. Aku tidak suka melihatnya," kata Rafael membuat Isabelle melongo tidak percaya.
'Kenapa tiba-tiba menjadi manis seperti ini?' pekiknya dalam hati. Ia menelan ludah ketika jari telunjuk Rafael bergerak mengusap pipinya. Dan tatapannya berubah menjadi sangat lembut.
'Ya ampun. Aku benar-benar bisa gila menghadapi tingkah atasanku ini. Sebentar menjadi dingin, tapi saat dia sehangat ini aku tidak bisa berkutik.' Isabelle merapalkan doa-doa untuk bisa menahan dirinya sendiri.
Ia mengerjapkan matanya yang terasa perih karena terlalu lama membelalak. Kemudian berdehem, "He-he. Sebaiknya kau memakan makananmu sebelum dingin. Makananku juga harus kumakan sekarang," ucapnya sedikit gugup berusaha membuat Rafael menghentikan sentuhannya.
Rafael menatapnya dengan raut kecewa, membuat hati Isabelle terasa teremas. Dan saat jari-jari Rafael diturunkan, Isabelle merasa kehilangan. 'Sepertinya aku memang tidak waras. Sadarlah Isabelle!' makinya pada diri sendiri.
***
Thank youu for reading!!
And see youu...
And wait for the next chapter, okay😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Always His
WerewolfSemuanya berawal setelah kelulusannya dari dunia perkuliahan yang membosankan. Isabelle Collins, yang ingin membuat orang tuanya bangga, tanpa pikir panjang menuruti perintah ayahnya untuk menjadi asisten pribadi seorang atasan perusahaan keamanan y...