Satu

14.1K 1.2K 34
                                    

Membuka pintu perlahan, Natasya mengendap-endap masuk ke rumah yang cahayanya sudah berubah remang-remang. Sepatunya dilepas, kepalanya ditutupi jaket. Sampai di depan pintu kamar, Natasya mengembuskan napas lega karena tidak ada orang rumah yang masih bangun. Saat tangannya menyentuh kenop pintu, tiba-tiba semua lampu menyala. Terkesiap, Natasya seketika berbalik bergeming melihat bundanya yang sedang bersedekap menatapnya tajam.

Mampus.

"Malam, Bun..."

"Jam berapa ini, Tasya?"

Natasya melirik jam dinding, menyengir bersalah mengusap lengannya gugup. "Jam sebelas, Bun," jawabnya sambil menunduk dalam tak berani membalas tatapan bundanya. Dalam hatinya ia mengutuk musibah yang menimpanya. Musibah dirangkul Pria asing, musibah ban mobilnya bocor dan satu lagi, musibah siap-siap dihukum bundanya.

"Kamu ingat kalau kamu perempuan?"

Natasya mengangguk. "Ingat, Bun."

"Terus kamu nggak takut diperkosa?"

Seketika Natasya mendongak, bergidik ngeri mengetuk meja kecil yang ada di sampingnya. "Amit-amit, Bun..."

"Nggak perlu bicara gitu, kalau kelakuan kamu nggak berubah-berubah."

"Bunda," Natasya merengek berusaha membujuk.

Sang bunda hanya bisa menghela napas panjang, sebelum akhirnya memberi isyarat pada Natasya agar mengikutinya. Perasaan Natasya tidak enak, ia pasti akan disidang di ruang khusus. Tanpa banyak protes Natasya mengikuti bundanya.

"Bun,"

Senyum Natasya mengembang mendengar suara Sang ayah. Natasya menghentikan langkahnya, berbalik menatap Sang ayah dengan binar penuh kelegaan.

"Kamu pulang larut lagi, Sya?" kening Sang ayah mengerenyit heran, kemudian melirik jam dinding.

"Nggak boleh ada pembelaan buat Natasya. Kebiasaan kalau dikasih hati minta jantung," sergah Sang bunda membuat Natasya menelan ludahnya susah payah.

Mata bulat Natasya mengedip berkali-kali meminta permohonan manja lewat kedipan tersebut.

"Siapa juga yang mau belain? Orang cuma manggil doang."

Bahu Natasya luruh, meringis perih. Memang ayahnya selalu membela dirinya apapun kesalahannya. Selalu ada alasan untuk menghentikan kemarahan bundanya. Lalu menasehatinya di belakang bundanya.

"Tasya ayo."

Natasya mencebik, menatap penuh permohonan pada ayahnya. Dan menyebalkannya, ayahnya malah mengedik tak peduli. Natasya menghentakkan kakinya kesal, kembali mengikuti langkah Sang bunda.

Kursinya terasa panas. Eh bukan kursinya, tapi hawanya. Dan tidak ketinggalan tatapan tajam yang dilayangkan bundanya menambah hawa semakin panas.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini terus? Bunda tahu kamu itu jago pencak silat, tapi kamu bakalan kalah kalau bukan lagi beruntung."

Natasya tidak bisa berkutik kalau sudah duduk di kursi sidang seperti sekarang ini.

"Bunda salah, seharusnya Bunda nggak biarin Ayah kamu manjain kamu sampai jadi nggak nurut sama Bunda." Seketika Natasya mengangkat wajahnya menatap bundanya nanar. Sekian lama Natasya tidak pernah melihat bundanya menangis dan sekarang ia melihat jelas bundanya menahan tangis.

"Bunda,"

"Bunda udah capek nasehatin kamu. Kamu keras kepala banget."

Natasya kembali menunduk, hatinya bergetar perih melihat air mata Sang bunda. Pulang larut juga tentu saja dengan alasan. Seharusnya memang jam 9 dirinya sudah pulang, tetapi gara-gara banyak insiden, jadilah dirinya kemalaman.

"Maaf, Bun."

"Udah, Bun. Udah malam, kasihan Natasya capek. Biar sidangnya dilanjut besok, kita juga harus istirahat."

Natasya melirik Sang ayah dari ekor matanya, mengembuskan napas lega saat bundanya setuju. Saat kedua orangtuanya sudah keluar dari ruangan tersebut, Natasya mendesah lelah, bersandar pada sandaran kursi sembari memejamkan matanya.

"Ayah telepon atasan kamu, katanya kamu ambil lembur?"

Natasya terperenjat, mencebik menatap ayahnya kesal karena membuatnya terkejut. "Ayah ngagetin," gerutunya membenarkan letak duduknya. "Iya. Aku ambil lembur bantu SPG, mayan buat tambah uang jajan."

"Kamu bisa langsung masuk bagian staff atas, nggak perlu jadi admin dulu."

Natasya mengedik. "Males, Yah. Nanti nemu manusia banyak muka."

Ayahnya memang seorang pengusaha yang bergerak dibidang properti dan juga kuliner. Natasya sedikit memanfaatkan bisnis ayahnya untuk melamar kerja sebagai admin, seperti orang lain. Natasya bersiteguh ingin merasakan berjuang dari titik 0, bukan langsung menikmati fasilitas yang ayahnya beri.

"Bagus. Ayah suka sama prinsip kamu."

Natasya tersenyum, membusungkan dadanya bangga. "Oiya dong, Natasya gitu..."

"Jadi? Lembur sampai jam 8 malam, kemana 3 jam itu?"

Natasya terdiam, menimbang untuk mengatakan atau jangan kemana dirinya pergi. "Nanti, kalau Tasya jawab, Ayah marah nggak?"

"Tergantung."

Natasya kembali mencebik. Walau usianya sudah 24 tahun, tapi dengan orangtuanya, Natasya tetap diperlakukan seperti Natasya kecil dulu.

"Mampir dulu ke mal, Yah. Terus ke kelab nemuin seseorang,"

Pelototan Sang ayah membuat Natasya menghentikan pembicaraannya, menelan ludahnya kesusahan.

"Udah berani ke kelab ya kamu sekarang,"

"Nggak, Yah. Ampun." Tasya menangkupkan tangannya di depan dada. "Nggak niat dugem kok, Yah. Aku COD an sama seseorang di kelab dekat kantor."

"Bagus."

"Yah..."

"COD an apaan di kelab? Nggak mungkin celana dalam, pasti barang haram. Kamu pakai?!"

"Ayah!" Natasya mengaduh seketika saat ayahnya menjewer telinganya lumayan keras. "Sakit, Yah," ringisnya.

"Ini hukuman kamu masuk kelab. Ayah nggak menerima apapun alasannya, tetap kamu salah udah berani masuk kelab."

"Yah, aduduh..."

"Mau sekali lagi ke kelab?"

"Nggak, Yah"

"Janji?"

"Janji." Jeweran terlepas, Natasya mengusap telinganya yang berdenyut bekas jeweran ayahnya. "Terus ada insiden mobil ban bocor, Yah," lanjut Natasya lagi sambil mengusap telinganya.

"Bunda sering ngasih solusi sama Ayah buat bikin kamu insaf."

Seketika Natasya menatap horor Sang ayah. "Solusi apa?"

Perasaan Natasya semakin tidak enak saat melihat tatapan ayahnya yang penuh maksud. "Menikahkan kamu."

Mampus lo.

Crazy Love Story (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang