Dimas Revano Aditya.

1 0 0
                                    

"jadi, lomba-nya kapan kak?" aku merapikan barang-barangku, sedangkan kak deva masih melanjutkan koreografinya. "dua minggu lagi sih," aku menatapnya tidak percaya. Ia baru membuat koreografinya sejak 3 hari yang lalu untuk dua minggu lagi?

"wah parah nih, yang ikut lombanya siapa?" aku berdiri dari tempat dudukku, dan berjalan kearah pintu keluar ruang klub dance. "kita," aku berbalik dan menatapnya tajam. "liat aja entar ya kak." Aku berjalan meninggalkan kak deva dengan muka masam. Kebiasaan, ia tidak pernah mengkonfirmasi apapun kepadaku. Dug!

aku menabrak seseorang, aku mengangkat kepalaku. Lalu terdiam sesaat, dan berusaha pergi melewati orang itu. Namun sebelum itu terjadi, orang itu sudah menggenggam tanganku keras. Aku meringis kesakitan, itu memang sangat sakit. "maksud lu apa sih?!" aku berusaha melepaskan genggaman orang itu dari tanganku.

"kita harus ngobrol" suaranya terdengar datar sekali, "tapi ga gini juga caranya, dim" itu Dimas, sahabatku sejak kecil. Ia sekolah di SMA Bintang, aku yakin bang fajar pasti memberitahunya soal senja yang kembali. Bang fajar pasti tahu dari Kak gilang, Kak gilang memang tidak bisa diandalkan, dan pasti sarah yang memberitahu Kak Gilang.

"lu harus cerita lagi ma gua. Oke?" suaranya masih saja terdengar mengesalkan. "hm iya," aku berjalan mendahuluinya. "gua anter lu pulang, bang fajar nunggu dirumah. Lu mesti cerita pas udah dirumah." Dasar, ia selalu saja mengaturku padahal ia sendiri tidak suka diatur, lagi pula kami sudah tidak berbicara sejak 2 tahun yang lalu, saat kami bertengkar hebat.

Aku menatap punggungnya dari belakang, ia masih memakan permen dengan merek yang sama yang kuberikan 3 tahun yang lalu, dia bilang tidak menyukainya tapi permen itu masih saja terlihat dicelah bibirnya. Aku selalu memberikannya saat melihatnya menghisap benda terkutuk itu.

"lu ga nganggep gua ya dim?" dimas hanya terdiam dan menghisap rokoknya lagi. "berhenti dong dim, jangan kayak gini." Dimas menoleh kearahku—tatapannya kosong, ia tidak boleh kalut seperti ini. Aku menarik rokoknya paksa, dan secara paksa memasukan permen batang kedalam mulutnya. "apaapaan sih lu." Aku menjatuhkan rokoknya ketanah dan menginjaknya. "gapapa, ntar gua beliin lu permen yang banyak oke?" aku menepuk bahunya pelan.

"buruan, lamban." Aku berjalan mendahuluinya menuju tempat parkir sekolah lebih dulu. "lu yang lamban." dimas hanya mengangkat bahu tidak peduli, lalu menyalakan motornya. Aku hanya bersenandung riang, aku sebenarnya merasa canggung berada didekat dimas. Aku tidak bertemu dengannya selama 2 tahun, ada apa ini? Senja kembali, dan sekarang dimas juga.

"naik" aku hanya menatapnya kesal, sikapnya bahkan tidak berubah sedikipun. Sepertinya keberadaanku itu memang tidak berarti untuknya. Aku lalu menaiki motornya, tanpa menanyakan kesiapanku ia sudah melajukan motornya dan seperti biasa sangat cepat. Motorku jadi jarang dipakai karna Senja juga sudah kembali, sekarang dimas tiba-tiba mengantaku pulang.

"sampai, turun." Aku turun dari motornya dan mendahuluinya memasuki rumahku. "tungguin" aku berhenti didepan pintu, sepatu Bang Fajar ada dirak sepatu. Kenapa ia juga kembali kerumah sih? Aku membuka pintu rumah, "ngapain lu balik kerumah sih bang?" gumamku kesal.

"na" Dimas menarik tanganku tepat sebelum aku masuk kedalam rumah. "kenapa?" dimas terlihat menahan napas, "maaf"

"senja lebih penting buat lu kan na? Jadi ngapain lu mesti peduli sama gua." Aku menegang saat melihat rokok kembali berada di tangan dimas. "jangan gitu dim, lu juga penting buat gua" dimas menatapku, terlihat sangat marah.

"gaada yang peduli sama gua" dimas mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, sebelum ia menyulut benda itu menggunakan korek, aku merampas benda itu dari tangannya. "apaan sih, lu siapa ngatur hidup gua?" dimas mengambil paksa kembali rokok itu dan menyesapnya perlahan setelah menyalakannya, sementara aku terpaku melihat kebulan asap itu menerpa sekitar kami. "gua siapa? gua emang bukan siapa-siapa lu dim, tapi gua cuman berusaha buat lu sadar kalau ada yang peduli ma lu, sumpah ya lu parah banget. Ngapain dong gua selama ini kemana-mana bareng lu?" dimas terdiam, sepertinya ia baru sadar apa yang sebelumnya ia katakan.

"maaf ya dim, gua emang gaguna"

Aku terdiam, padahal dulu kami selalu bersama. Padahal saat itu senja baru saja menghilang, aku sangat kacau. Lalu aku juga bertengkar dengan dimas, bang fajar selalu saja berusaha mempertemukan kami namun semua usahanya sia-sia. Kami tidak bertegur sapa, bahkan hanya mengaggap kami tidak pernah saling mengenal.

"buruan masuk" dimas mendorong tubuhku masuk kedalam rumah, aneh. "hm iya, makasih dim." Aku tersenyum tipis lalu menutup pintu perlahan, setelah pintu itu tertutp aku sudah tidak bsa menahan tangisku lebih lama. Sepertinya dimas belum tahu, bng bajar sudah tidak meninggali rumah ini bersamaku sejak 2 bulan yang lalu. "lu jadi banyak gatau tentang gua ya dim?'

Revano SenjakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang