Nasi Goreng Mang Ade

4 0 0
                                    


Buka pintunya lun, mau nunggu gua mati kedinginan?

Aku berjalan kearah pintu, gemas. Ia tidak akan mati membeku diluar sana, aku tahu. Tapi aku tidak tahu harus apa, juga aku masih menggunakan pakaian rumahku. Celana panjang dan oversize hoodie hitam kesayanganku. Aku melirik dari jendela, senja berdiri disana. Ditangannya terdapat nasi goreng kesukaanku, sial! Akan sulit menolaknya jika ia membawa nasi goreng mang ade.

Aku membuka pintu, menunjukan wajahku dari celah pintu. "ngapain kesini?" aku menatapnya datar. "maaf lun," harum nasi goreng mengacaukan konsentrasiku. Aku melirik nasi goreng ditangan senja berulang kali.

"gadisuruh masuk nih?" eh, aku menatap lagi matanya. Sekarang tinggiku hanya sedadanya. "eh, masuk." Aku memberi ruang untuk senja masuk. Lalu mengikuti langkahnya kearah ruang tv setelah memastikan pintu tertutup.

"udah dua tahun ya?" aku menelan ludah, dan mengangguk samar. "belom makan lun? Dari tadi ngeliatin nasi gorengnya mulu.." aku menoleh kearahnya lagi setelah kepergok melihat nasi goreng itu lagi berulang kali.

Aku meringis, "udah tapi—" senja memotong ucapanku. "udah tapi masih laper kan? Kebiasaan, Gua ambilin piring deh. Awas aja, jangan kebanyakan makan mie." Ini seperti rutinitas kami 2 tahun yang lalu. Beberapa kali dalam sebulan, Ia akan kerumahku dan membawa nasi goreng kesukaanku, dan dengan baik hati menyajikannya untukku.

Ia kembali kehadapaku dengan dua piring nasi goreng. "makasi kak," aku menghabiskan nasi goreng itu dalam diam, dan senja memakannya sambil memperhatikanku. "maaf," aku menuduk ditengah rasa kenikmatan tak terkalahkan dari nasi goreng itu.

"buat apa lun?" senja ikut berhenti memakan nasi gorengnya. "soal, ehm. Dino. Sama aja gua selingkuh dibelakang kakak kan?" senja menggeleng "gapapa, lun. Bang dino suka curhat tentang ceweknya ke gua, eh ternyata lu. Tapi dari cerita bang dino lu beda, lun. Kaya bukan luna yang gua kenal. Aish, siapa yang rawat lu waktu gua gaada?" ia mengacak rambutku gemas.

"waktu itu, luna yang ini mati. Tapi pas ka senja balik lagi, kayaknya mulai hidup lagi." Aku terkekeh seakan-akan itu hal yang lucu. Senja menatapku khawatir, aku menelan ludah.

"maaf," aku menunduk lagi, "luna.." senja mengambil nafas berat, "gua marah lun, jujur. Tapi gua juga salah pergi gabilang-bilang. Ga ngabarin pula ya? 2 tahun lagi" senja mengulukan tangannya, menyentuh puncak kepalaku, mengusapnya perlahan. "gapapa lun gua juga salah kok, kayak bocah ih. Tapi udah besar deng sekarang mah. Gua mau pulang nih, jangan nangis ya?" aku menatapnya sekilas. "enak aja." Ia melangkah ke pintu depan setelah memastikan bekas makannya sudah rapi.

"gua pulang ya lun. Kunci pintunya" aku mengangguk patuh, dan mengunci pintunya sepeninggalan senja. Aku merasakan pipiku memanas setelah peninggalannya, ah aku ini memang lemot. Setidaknya itu yang teman-temanku katakan, bahkan aku baru merasakan dampak dari perilakunya setelah ia pergi. Aku menyentuh kepalaku, tepat ditempatnya mengusap kepalaku. "aish, sial." Aku menutup mataku merasakan butiran air lolos dari celah mataku. Sebagian diriku berharap saat aku membuka mata ia berada dihadapanku, lagi.

...

"gila! Ganteng banget dong,"

"ah, kak Gilang kalah kalo gini."

"sapa tuh?" koridor jadi sangat ramai, dan itu karna satu orang. Senja.

Sekarang satu sekolah membicarakan senja, benar kata agan. Ia masuk sekolah ini. Aku mendengus kesal, ini akan sama seperti 2 tahun yang lalu. "Luna! Ih ada cogan baru dong. Gakuat" Sarah menggoyangkan badanku berulang kali. "cowok gua itu" gumamku kesal. Sarah menatapku heran, "ngomong apa tadi?" aku menarik napas pelan.

"cowok gua itu rahh," aku menatapnya malas. "Apa sih lun, ngeboong-nya hebat banget deh. Nah itu-itutuh orangnya lun," sarah menunjuk senja yang berjalan kearah sini dengan santai, dari dulu ia selalu populer. Aku menatap kearah lain, menghindari kontak mata dengannya. Sarah sekarang berdiri dibelakangku, itu karna sekarang senja berjarak hanya 4 meter dari kami. Senja berjalan mendekat kearahku, dan gadis dibelakangku meremas bajuku—menyebalkan.

"jangan bosen ketemu gua loh. Oh iya, pulangnya bareng gua ya lun, dadah lunaa.." Senja tersenyum sangat manis, dan menyempatkan diri mengacak puncak kepalaku pelan sebelum akhirnya berjalan melewati kami begitu saja. Sarah menatapku dengan mata besarnya, "lu utang penjelasan ma gua, Aluna." Aku mendengus kesal.

"inget cerita tentang temen gua yang cowoknya ilang? Yang lu denger ceritanya sampe mewek?" sarah terdengar berfikir "itu lu ya lun?" aku mengangkat bahu. "aaahh, kasian banget sahabat guaa" sekarang sarah memelukku, aku menggeleng-geleng. "lepasin rah, ga enak sumpah" tapi sarah mengeratkan pelukannya. "ganteng banget kan dia?" aku tersenyum bangga, mengingat senja sangatlah tampan. "tapi kan lu juga cantik banget lun, pantes aja semua cowok lu tolak.." Aku berjalan meninggalkan sarah lebih dulu. Sedangkan sarah berlari menyamakan langkahnya denganku. Tidak ada yang tahu aku berhubungan dengan dino, ya kecuali Kak deva.

"Alun!" Kak dava berlari kearahku, aku menatapnya heran. Ia kembaran kak Deva—Senior sekaligus ketua klub dance. Kak Dava berhenti dihadapanku, terlihat sangat lelah. "Lu dipanggil deva. Katanya mau ngelanjutin Koreo yang kalian bikin, dia udah izin Dispen ke bu Sri. Jadi lu gausah izin lagi. Gua tinggal, deva di tempat biasa." Aku mengangguk, dan melambai kearah kak dava sepeninggalan salah satu pangeran sekolah itu. Banyak orang merasa aku sangat beruntung, dikelilingi berbagai anak populer di sekolah. Mulai dari Kak Dava, Kak Deva, Kak Gilang, Sarah, teman-teman kak gilang dan sekarang Senja.

Aku mengikat rambutku, menampakan gigiku kearah sarah. "gua dispen, dadah sarah cantik.." aku berlari kearah ruang dance dan kembali disibukan dengan koreografi.

...

Revano SenjakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang