Bakiak

14 1 0
                                    

27 Oktober 1990, 02.30 WIB.

Di ujung langit, sang fajar tak menampakkan dirinya, belum. Namun,  orang-orang sudah sibuk ke sana-kemari. Tak menghiraukan sisa hujan yang mereka injak.

Kena senggol sana-sini pun tak ada yang naik pitam. Hal itu seperti sudah biasa bagi mereka.

Seorang lelaki berbadan kekar memanggul bakul anyaman berisi sayur-mayur hijau di bahu kiri. Di sampingnya gadis kecil yang dituntun seorang wanita paruh baya berceloteh sambil menjinjing kresek kopi hitam. Wanita paruh baya itu memanggul kayu bakar di tangan kanan.

"Ambu, Lingsu, hoyong bakiak, siga rerencangan, nu sok nganggo. Sadana teh, 'tok-tok-tok-tok', Lingsu resep."

/Ambu, Lingsu, pengin bakiak, seperti temen-temen, yang sering pakai. Bunyinya, 'tok-tok-tok-tok', Lingsu suka./

Wanita yang dipanggil Ambu hanya tersenyum. Mereka tetap melangkah menuju pohon besar tempat biasa berdagang sayuran dan kayu bakar.

Bibir Lingsu mengerucut karena celotehannya tak dianggap.

Sesampainya di pohon besar, ia duduk di akar sembari membayangkan tengah berjalan ke sana-kemari mengenakan bakiak seperti teman-temannya.

*****

Tanggerang, 27 Oktober 2018, 02.30 WIB.

"Mau ke mana, Li? Tumben jam segini bangun."

"Mau ke pasar tradisional."

"Hah? Ngapain ke pasar tradisional jam segini?"

"Pengin liat aja, jam segini ada nggak pasar tradisional yang udah rame."

"Ya ... buat apa?"

"Aku kangen Abah sama Ambu, Bagas."

Bagas menghela napasnya. "Lingsu ... di Tanggerang nggak bakal ada pasar tradisional buka jam segini,"—Ia melirik jam dinding di kamarnya.—"ini baru pukul 2.30. Pagi aja belum menampakan dirinya."

Lingsu memejamkan mata di hadapan cermin tempat ia biasa berias. Setitik cairan bening keluar dari netranya.

Ia membalik-balikan sebelah bakiak kecil yang berada di meja rias.

"Bagas."

"Hm."

"Bolehkah sekali ini aja aku ngeluh lagi?"

"Ngeluh kenapa?"

"Kenapa anak lain bisa lebih beruntung daripada aku?"

"..."

"Kenapa aku nggak pernah bisa seperti mereka, dulu?"

Lingsu menarik napasnya sejenak.

"Kenapa mereka bisa mendapatkan yang mereka mau dari orang tuanya, sedangkan aku tidak bisa?"

"Kenapa saat satu permintaanku terwujud, Tuhan menukarnya dengan orangtuaku?"

Bagas berdiri di belakang Lingsu dan meletakan kedua tangannya di bahu wanita itu.

"Aku hanya minta sepasang bakiak. Kenapa setelah aku mendapatkan itu, Tuhan mengambil mereka? Kenapa, Gas?"

Tanpa banyak bicara, Bagas hanya menjadi pendengar istrinya itu. Tak ada basa-basi, ia memeluk dari belakang untuk menenangkan wanita yang dinikahinya 10 tahun lalu.

Acap kali merasa iba pada istrinya itu, tapi ia tak tahu harus berbuat apa selain memeluknya. Karena di saat keadaan seperti ini, wanita yang sudah melahirkan kedua anaknya, hanya membutuhkan pelukan. Bukan sebuah nasihat atau hal-hal lainnya.

Karena terkadang, kala seseorang bersedih yang mereka butuhkan hanya pendengar dan pelukan.

[]

Sok tahu banget si pasar kan emang bukanya pagi-pagi~

Yaudah si.

Cerita pertama di lapak ini yang dipublish tahun 2019. Mantapseu sekali 😘

Bandung, 5 Desember 2019.

Kisah dalam Sepotong GambarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang