"Artha pulang." Ucap Artha saat memasuki rumahnya.
"Artha kamu habis darimana ko basah kuyup gitu?" Tanya Ayah Artha yang sedang duduk mengerjakan tugas di laptop.
"Papa gaperlu tau." Jawab Artha sinis.
"Kamu gapunya sopan santun banget sama ayah kamu ya? Udah bodoh, kelakuan kamu juga gabaik." Bentak Ayah Artha.
"Papa maunya apa sih, dari dulu aku gapernah bener di mata papah. Aku pinter, salah. Aku nakal, salah. Aku harus gimana biar bener dimata papah?" Tanya Artha menahan kesal.
"Anak kurang ajar udah berani menjawab sekarang? Lihat adik tiri kamu tuh, sampai sekarang sikapnya baik. Memang dasar anak yang lahir dari perempuan gabener." Jawab Ayah Artha.
"Maksud papa apa ngomong gitu? Mama perempuan paling sabar, paling baik, paling tabah daridulu. Papa kenapa ngomong gitu? Aku gapapa papa caci maki aku kenapa mama dibawa pah?" Jawab Artha dengan nada marah dan pergi meninggalkan ayahnya yang masih berbicara jelek tentang Artha, berjalan menuju kamarnya.
Artha membersihkan diri lalu mengganti bajunya dengan baju yang kering. Mengambil asal jaketnya dan pergi keluar rumah. Menyalakan motornya dan pergi tanpa tujuan.
***
Entah kenapa Artha berhenti di depan rumah Fana. Artha hanya diam di depan rumah Fana tidak melakukan apa-apa. Tak lama kemudian keluar sesosok perempuan yang hendak membuang sampah. Terkejut melihat sosok Artha yang berada di depan rumahnya.
"Artha lo ngapain disini?" Tanya Fana dengan nada kaget.
"Eh, hm sorry gasengaja tadi lewat doang udah ya." Ucap Artha lalu dengan cepat memakai helmnya.
"Sebentar-" Saut Fana sembari menghentikan tangan Artha yang memakai helm.
"Artha kenapa?" Tanya Fana dengan nada khawatir. Walau diantara gelapnya malam, Fana masih bisa merasakan kesedihan pada Artha.
Artha tidak menggubris perkataan Fana.
"Fana tau Artha kenapa-napa, bukannya berbagi lebih baik daripada di pendam sendirian Ar?"
Pertama kalinya bagi Artha untuk seseorang menanyakan perasaannya. Senyuman di wajah Artha sukses menjadi tipuan untuk semua orang di sekitarnya, menganggap Artha baik-baik saja. Topeng yang menutupi retaknya hidup Artha kini lepas di depan Fana, seorang Shafana Zaara Roseta mampu menyentuh titik lemah Artha.
Artha terjatuh lemas menangis, Fana tidak bertanya apa-apa. Membawa Artha masuk ke dalam halaman rumahnya dan terus disamping Artha untuk menemaninya. Memberi waktu Artha untuk mengeluarkan semua kesedihannya, sampai akhirnya Artha sendiri yang siap untuk bercerita.
"Gue berantem sama bokap." Ucap Artha memulai ceritanya.
Fana hanya diam menunggu Artha melanjutkan ceritanya, tidak bertanya apapun.
"Daridulu keluarga gue itu udah ga harmonis, tapi seengganya sebelum mama sama papa cerai di samping gue masih ada mama, mama yang selalu buat gue tenang disaat papa sibuk menyusun argumen yang bisa ngebuat mama kalah. Bayangin aja waktu itu gue baru umur sepuluh, gue inget banget mama sama papa sering berantem di rumah. Saling bentak satu sama lain. Sampai puncaknya, mama pergi. Papa yang bahkan gabisa jadi kepala keluarga yang baik, gabisa jadi suami yang baik. Sekarang dia harus jadi single parent. Janji dia sama Tuhan untuk sehidup semati, menerima kekurangan mama aja dengan gampang dia ingkari. Apalagi janji dia sama Tuhan buat ngerawat gue semenjak gue menghirup udara di bumi ini. Ga lama papa punya istri baru, janda, punya satu anak. Gue langsung punya adik tiri. Beda dua tahun sama gue, papa selalu ngebangga-banggain anaknya yang itu. Cuma adik tiri gue doang, gue gapernah. Dia sibuk sama apapun, kecuali gue. Dia selalu bisa ngeluangin waktu untuk adik tiri gue tapi untuk gue gapernah. Tapi apasih yang bisa dipikirin anak umur segitu, 'ah mungkin aku nakal jadi papa gasuka sama aku.' Tapi pikiran gue salah, gue udah belajar, gue dapet nilai bagus, gue dapet peringkat. Jangankan dia bangga, rapot gue aja gapernah dia yang ngambil. Sampe akhirnya gue cape ngadepin dia, tapi dia malah ngejelek-jelekin mama di depan gue, dan gue disini sekarang, kaya gini. Kalau emang dia mau ngingkarin semua janji dia ke Tuhan terhadap mama, terhadap gue. Kenapa hak asuhnya harus dia yang ambil? Gue tau papa sama mama cerai secara hukum, kenapa gue ga sama mama aja? Gue gaakan semenderita ini kan kalau hidup sama mama? Atau emang dari awal gue itu anak yang gadiinginkan?" Jelas Artha panjang.
Fana terlihat terkejut mendengar penjelasan Artha.
"Artha gaboleh mikir kaya gitu, pasti ada alesan kenapa mama Artha ga ambil hak asuh Artha. Artha harus bisa ngerti keputusan mereka." Jawab Fana dengan nada selembut mungkin.
"Gue coba ngerti tapi papa bener-bener ngebuat gue cape hidup." Ucap Artha.
"Gaboleh ngomong gitu, Artha jangan lupa. Artha masih punya Tuhan, Artha masih bisa sukses kedepannya untuk nunjukkin ke ayah Artha kalau misalnya dia salah. Artha harus ngejalanin ini lebih sabar lagi, hang on there, Tuhan gaakan ngasih cobaan lebih sulit dari kemampuan manusianya, karena sesungguhnya Tuhan sangat sayang sama kita semua. Kalau Artha cape, ada tempat untuk berhenti. Untuk istirahat, banyak temen-temen Artha yang berani nanggung gelapnya Artha bareng-bareng. Ada Fana juga disini, Artha bisa ngadu kapan aja ke Fana." Ucap Fana dengan tersenyum tipis.
Artha menjadi lebih tenang setelah mendengar perkataan Fana. Setidaknya sekarang Artha tau, dia memiliki satu tempat untuk singgah. Warna-warni pelangi yang indah terlukis melalui senyum Fana, membuat Artha takjub malam itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fananya Artha
Novela JuvenilSatu insan bagai matahari Satu insan bagai badai petir Sang matahari dengan cahayanya Sang badai dengan awan gelapnya Saat matahari mulai naik Badai diam, melihat keindahan matahari Badai perlahan berubah menjadi rintik-rintik air Awan kembali menja...