004 - 040 - 400

55 25 7
                                    

Lusa, saat Artha mencari Fana di kelasnya. Fana tidak ada. Fana tidak masuk sekolah dan hal tersebut berlangsung selama dua minggu. Selama dua minggu itu pula Artha selalu mengunjungi rumah Fana, tetapi rumah itu selalu kosong. Artha mulai khawatir, kemana pelanginya pergi?

"Artha." Panggil Haura sembari menghampiri Artha yang sedang istirahat latihan basket.

"Ada apa Ra?" Tanya Artha.

"Gue sebenernya gaboleh bilang sama lo, tapi Fana sekarang lagi kritis. Dia punya kanker, dari dulu SMP. Semenjak awal kelas sebelas dan dia ketemu sama lo kanker dia membaik. Fana pikir dia udah sembuh ternyata kankernya udah nyebar di seluruh tubuhnya. Maaf gue baru bilang sekarang, gue janji ke Fana gaakan bilang ke elo." Jelas Haura.

"Sekarang Fana dimana?" Tanya Artha khawatir.

"Di RSIS, kamar Jingga nomor delapan." Jawab Haura cepat.

Dengan cepat Artha mengambil kunci motor dan menuju rumah sakit tempat Fana dirawat.

***

Saat sampai di rumah sakit, Artha dengan cepat menuju ke ruangan Fana dirawat. Saat Artha sudah berada di depan ruangan dimana Fana berada, Artha terdiam. Artha menyiapkan hati untuk melihat keaadaan Fana sekarang.

Saat ia mengetuk dan pintu dibuka. Terlihat seorang Shafana Zaara Roseta terbaring lemah dengan beberapa alat bantu untuk hidup. Artha tidak bisa berkata-kata, hanya bisa diam menatap Fana.

***

Setelah Artha mengetahui Fana berada di rumah sakit, setiap harinya ia berkunjung ke rumah sakit, menemani Fana disampingnya. Selalu memohon dan berdoa kepada Tuhan.

'Tuhan tolong sembuhkan Fana, berilah dia kesehatan lagi. Agar bisa selalu disampingku."

Artha juga berkenalan kepada orang tua Fana. Melihat dua orang yang jauh lebih menyayangi Fana, menemani Fana dengan tegar dan selalu terlihat ikhlas. Artha berusaha agar terlihat lebih kuat, Artha berusaha dengan sekuat tenaga agar ia bisa mengikhlaskan Fana. Walau sangat sulit bagi Artha untuk mencoba ikhlas dan tegar, tetapi Artha terus mencoba.

Ini demi Fana

Di dalam lubuk hati, Artha terus-menerus mengatakan bahwa ia harus ikhlas. Demi Shafana Zaara Roseta, dan saat dimana Artha benar-benar ikhlas, disaat doa Artha berganti.

'Tuhan semoga Fana cepat diberi kebebasan, apapun yang terbaik untuk Fana.'

Sesaat setelah Artha selalu berdoa, mengadu kepada Tuhan agar Fana cepat bahagia kembali. Fana pergi, untuk selamanya. Semua kesakitan Fana diangkat oleh Tuhan.

Bagaikan arti kata fana, tidak kekal dan bagaikan pelangi, hanya sementara. Begitulah Fana di hidup Artha, tidak kekal dan hanya sementara.

Takdir terbaik Tuhan untuk Shafana Zaara Roseta, ternyata bukan menjadi pemeran utama abadi di kehidupan Artha. Akan ada orang lain yang menggantikan Fana untuk menjadi pemeran utama. Walau di lubuk terdalam hati Artha, akan selalu ada Fana.

***

Dengan dibalut gaun putih, Fana terlihat sangat rupawan. Terlihat cantik dengan senyuman tipis yang menenangkan. Di dalam peti berwarna hitam, Fana tertidur dan tidak akan pernah bangun kembali. Artha pun sudah ikhlas melihat Fana begitu bahagia, kesakitan Fana sudah bisa Fana bagi kepada langit. Sang awan yang akan selalu ada untuk menghiburnya. Sang matahari yang siap menjadi pendengar setia. Sang bintang akan selalu membiarkan Fana bersinar lebih terang dan hangatnya pelukan cahaya sang rembulan. Artha ikhlas, Artha mempercayakan langit untuk menjaga Fana. Artha berjanji kepada Fana, akan selalu menjaga tujuh warna yang Fana berikan kepada Artha. Fana mengajarkan kepada Artha agar lebih bisa ikhlas menghadapi takdir Tuhan, Artha percaya Tuhan akan selalu ada untuk Artha. Artha pun percaya Fana juga akan selalu mendengar Artha, kapanpun itu. Artha berjanji, akan mencoba menyebarkan tujuh warna ini juga kepada orang lain. Menjadi pegangan tangan yang sangat konsisten, menjadi Fana-nya Artha, untuk orang lain.

—— End

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fananya ArthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang