Sore ini tiba-tiba hujan turun. Aneh saja matahari masih bersinar terik tapi hujan tiba-tiba turun dengan deras. Sore ini siswa siswi yang tersisa tinggal kelas 12 usai mengikuti les tambahan belajar.
Hujan deras membuat banyak siswa-siswi kelas 12 harus menunda niatnya untuk segera pulang. Tapi, beberapa dari mereka yang memiliki jas hujan, langsung pulang menerobos lebatnya hujan.
Aku menatap ke depan memperhatikan setiap tetes hujan yang jatuh ke bumi.
Di tempat lain, Fey baru keluar dari ruang guru mengantarkan selembaran tumpukan kertas putih, lembar kerja siswa, setelahnya ia keluar mengarah ke parkiran. Ia berhenti sejenak saat merasa tubuhnya mulai basah karena nekat menerobos hujan. Fey membersihkan tasnya yang sedikit kecipratan air hujan.
"Nih tissue!"
Fey menoleh pada tangan yang mengulurkan tissue. Dia adalah Requeen. Fey memang membutuhkan itu, ia menyambutkan dengan senang hati. Requeensha ikut tersenyum.
"Kamu mau pulang hujan-hujan gini?" tanya Requeensha sambil mendongakkan kepala ke atas. Rintik hujan masih rapat dan matahari juga masih bersinar, tidak ada mendung-mendungnya sama sekali.
"Nggak. Tunggu reda aja. Lagian hujan panas gini biasanya nggak bertahan lama," balas Fey sambil mengelap tangannya.
Kedua mata Requeensha tak sengaja menangkap kehadiran Dhanisa sedang berjalan keluar dari ruang seni dan berhenti menyandarkan punggungnya di tiang, saat dirinya melihat hujan masih turun dengan deras.
"Kita ke sana aja, yuk. Supaya bisa memantau parkiran udah sepi atau belum, jadi kita bisa pulang." Requeen menyeret tangan Fey. Lebih mendekat ke Dhanisa yang masih menunggu hujan reda.
Sekarang jarak mereka sudah sangat dekat. Sudut bibir Requeen terangkat membentuk senyum miring. Ia sudah merencanakan sesuatu membuat hati Dhanisa panas. Toh, Fey juga sudah tidak peduli dengan Dhanisa. Setidaknya dia bisa memanfaatkan rasa sakit dan patah hati yang sedang dirasakan pria di sebelahnya.
Requeensha melihat genangan air di lapangan depannya berdiri. Sekarang ia tahu apa yang harus dilakukan. Requeen melempar kunci motor ke dalam genangan air itu, dan berinisiatif pura-pura mengambilnya.
"Ya ampun!"
Ia berjalan lima langkah ke depan, tapi baru langkah yang ketiga Requeen menjatuhkan tubuhnya di antara genangan air. Pura-pura terpelset.
Fey langsung turun dan melangkah cepat membantu Requeen berdiri. Hujan masih turun, membuat tubuh keduanya basah.
"Aww... " Requeen mengeram kesakitan, memegang pergelangan kakinya.
Fey menjongkok dan memegang kaki Requeensha. "Sakit?"
Requeensha mengangguk. Sorot matanya melihat ke arah Nisa. Requeensha tahu, Dhanisa barusaja menoleh ke arahnya namun ia pura-pura tidak tahu dan tidak melihat.
"Kita ke UKS aja" Fey membantu Requeen berdiri dan memapah tubuhnya.
"Fey kita lewat sana aja!" Requeen menunjuk ke arah di mana Nisa sedang berdiri.
Fey menurut, tampaknya Fey tidak menyadari bahwa Dhanisa sedang ada di sana juga. Dengan sedikit terseok Requeen mengikuti langkah pelan Fey yang membantunya berjalan. Requeen berhenti saat tiba tepat di mana Nisa berdiri
Requeensha mencoba menyapanya, "Eh, Nisa kamu belum pulang juga?"
Fey ikut menoleh saat Requeen menyapa Nisa. Tatapan mereka saling bertemu. Fey terlihat begitu tenang dan menatap Dhanisa dengan raut datar.
"Belum" balas Nisa seadanya. Nisa tahu Requeensha pasti mau cari pekara lagi dengan membuat hatinya panas. Percuma. Ia tidak akan termakan tipuan itu.
"Oh, iya kamukan nggak bawa motor ya? Biasanya kamu pulang dengan Ustadz Azzam kan?"
Requeen menoleh ke samping melihat Fey, lalu beralih kembali menatap Nisa. "Oh atau nggak ntar di antar pacar kamu. Ups! Salah. Mantan maksudnya. MANTAN SELINGKUHAN!" cebik Requeensha, tanpa peduli.
Ini terlalu kejam!
Tidak tahu apa yang aku hadapi sekarang. Perkataan Requeensha benar-benar menyakitkan, menusuk ke ulu hati.
"Sha, udah ayo cepat!" ajak Fey. Ia tak ingin lama-lama berdiri dihadapan perempuan yang sudah membohonginya dan membuatnya sakit hati. Fey akan berusaha keras untuk menghidari pertemuannya dengan Dhanisa. Meskipun berat, ia mencoba membangun kehidupan di buminya yang lain.
***
Aku melangkah tidak perduli dengan hujan yang masih turun, tapi setidaknya sudah mulai reda dari sebelumnya. Sendi-sendiku terasa lemah. Aku harus tetap melanjutkan langkah menuju halte. Menanti angkutan umum datang menjemput penumpangnya.
Rasanya tubuhku sudah mulai tidak enak. Aku mengusap bahuku yang bergetar. Hujan turut membawa kesedihan.
Lima menit kemudian, angkutan umum datang dengan kondisi penumpang yang hampir penuh. Pandangan mataku menyapu seluruh penjuru kursi yang kiri dan kanan. Mencari tempat duduk yang tersisa untuk tubuh mungilku. Aku duduk di barisan kanan berhimpinan dengan ibu-ibu yang bertubuh gempal. Tanganku bergetar menahan dingin. Lima menit menunggu angkot cukup membuat tubuhku kedinginan.
***
Keesokan harinya...
Aku mencoba melupakan semuanya. Melupakan segala penyataan dan kenyataan yang menyakitkan yang terjadi kemarin.
Aku mengambil Ipod dan headsetnya. Memasangkan pada dua telingaku, lalu duduk di sofa. Mataku terpejam menikmati lantunan lagu yang di play.
Ponsel bergetar sebentar. Ada pesan singkat masuk.
Abang rindu. Tunggu abang jika tidak delay abang akan tiba nanti malam.
Satu pesan masuk dari Azzam via whatsApp. Satu pesan yang membuat aku tersenyum senang.
Untuk pertama kalinya, merasakan kerinduan yang teramat dalam. Untuk pertama kalinya pula aku mulai terserang virus merah jambu. Dan benar, aku tidak akan menggantungkan lagi harapanku dengan laki-laki lain.
Setelah kejadian buruk kemarin, aku menetralkan perasaanku kembali. Berkomitmen hanya jatuh cinta pada satu makhluk, yaitu suamiku.
Sekarang, Azzam lah yang ia punya maka semestinya aku memang sudah cukup dengan memandang Azzam. Bukan ikhwan lain.
Headset yang melekat di telinga, aku lepaskan. Dengan senyum merekah aku masuk ke kamar. Seketika aku langsung mencium aroma khas suamiku. Aroma yang selama tiga hari ini menemaninya bersama rasa rindu.
Aku mendudukkan diri di ranjang. Tangan aku ulurkan ke sisi ranjang. Ranjang yang akan terisi kembali saat suamiku akan pulang.
Nanti malam aku akan balik lagi ke rumah umi. Tapi untuk sementara waktu aku di rumahku dulu menunggu kedatangan ayah dan ibu dari Singapura. Katanya mereka akan tiba sore ini.
Ingatanku terlepar sesaat pada apa yang ibu sampaikan di telepon terakhirnya. Mereka ingin membahas kelanjutan rumah tanggaku dengan Azzam. Kenapa? Apa ini berkaitan dengan kemarahan mereka waktu itu, saat tahu aku masih dekat dengan Fey. Apa ibu dan ayah akan membahas itu dengan keluarga Azzam. Wajahku tegang kembali. Bagaimana aku menyampaikan semuanya,