2. (1) Kematian dan wasiat

13K 1.8K 229
                                    

Yang nungguin Rensa 😊😊
Masih belum muncul ya ... Yang sabar, ini cerita alurnya memang agak lamban di awal.

Sengaja dibikin gitu biar yang baca bisa merasakan suasana adat budaya dan latar tempat di mana cerita ini berasal.

Begitu memasuki Lamban Balak, rumah—atau lebih tepat disebut sebagai istana—milik keluarga Patranegara, suara tangisan adik perempuan kakek menyambut.

Pelukan eratnya seakan menarikku dalam nuansa serupa saat kematian ayah. Dengan rasa duka yang sama besar, namun tidak lagi mampu menyentuh relung terjauh keberadaan emosiku.

Dari balik pelukannya, yang pertama kulihat adalah jenazah almarhum. Dalam langkah perlahan aku menuju dan bersimpuh dekat kepala jenazah Tamong Dalom*, memandangi wajahnya yang tertutup selendang putih transparan.

Lembut kusibak kain penutup itu, perlahan menyentuh wajah lelahnya yang tersenyum samar. Hanya tersisa dingin ditubuh renta itu saat  kutundukkan kepala dan mencium dahinya dengan hati-hati.

Wajah beliau terlihat jauh lebih tua dari yang mampu kuingat, tapi bahkan 'kematian tidak bisa merebut aura keagungan milik sang punyimbang.

“Ristha sudah datang Tamong, maaf baru sekarang,” bisikku lirih.
Setelah puas memandangi, tatapanku beralih pada Kajong*  Raihani yang duduk bersimpuh di belakang. “Kapan pemakamannya dilaksanakan?”

“Pagi ini juga Ristha. Sebelum tengah hari sesuai permintaan yang beliau wasiatkan.” Ina Dalom*   Eva, ibu Aziz, yang juga sepupu ayahku menjawab lembut dari samping Kajong Raihani.

Seorang laki-laki paruh baya datang mendekat, aku mengenalinya sebagai Tamong Anwar, salah satu adik lain ibu dari almarhum Tamong Dalom. Beliau berbisik di telinga Kajong Raihani, sikap yang sopan menurut adat sebagai anggota keluarga yang lebih muda. Lagi pula sepeninggal Tamong Dalom, Kajong Raihani otomatis menjadi kepala keluarga Patranegara.

Suasana hening menyelimuti ruangan ketika kedua tetua keluarga itu saling berbisik. Saat suara tahlil terus menggema di seluruh penjuru Lamban Balak, keluarga dekat yang berada di ruang yang sama  justru lebih berminat untuk menyimak apa yang akan dikatakan oleh keduanya. 

“Kajong ingin menyampaikan wasiat terakhir dari almarhum Tamong Dalommu, Ristha,” beliau berbicara dengan suara serak seraya menyeka air matanya dengan ujung selendang hitam yang disampirkan ke bahu.

“Apa kamu masih ingat dengan status dan kedudukan almarhum sebagai punyimbang marga?”

Itu pertanyaan retoris, kakekku dan kebangsawanannya adalah apa yang tidak bisa aku lupa ataupun sangkal.

Beliau pewaris gelar Saibatin*  bagi daerah marga yang dipimpin, juga tokoh masyarakat yang dikenal luas dan disegani karena statusnya sebagai salah satu dari empat pemimpin adat tertinggi di Kepaksian Sekala Brak, persatuan dari empat marga utama di Lampung Barat yang telah ada sejak abad ke-enambelas.                                                           
Untuk meresmikan kedudukannya, Tamong Dalom harus melaksanakan Penattahan Adok, upacara penobatan, dengan syarat-syarat berat. Diantaranya adalah kesanggupan untuk menyediakan lebih dari limapuluh ekor kerbau untuk pesta adat.

Saat aku kecil, cerita tentang upacara naik tahta seorang punyimbang bagai sebuah kisah dongeng indah, tapi anehnya sekarang semua itu sudah tidak lagi memikat sebagaimana dulu.

“Kematian Tamong Dalommu memutus garis keturunan lelaki dalam keluarga kita,” suara Kajong Raihani menyeretku dari ingatan lampau. “Sebagai satu-satunya ahli waris, Tamong Dalommu ingin  kamu melakukan tradisi tegak tegi *.”

Putri Sang PunyimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang