Bab.2 - Terkesima

517 86 71
                                    

"Baby, let me be your man. So I can love you. And if you let me be your man. Then I'll take care of you, you."

Suara Tara melantun merdu. Tanpa musik pengiring, ia menikmati irama  sambil ke sana ke mari, merapikan snack pada tempatnya.

"For the rest of my life, for the rest of yours. For the rest of my life, for the rest of yours. For the rest of ours."

Tak berhenti Tara asik menggumamkan lagu, milik Zayn Malik -Let Me- yang tengah tren tahun ini. Setidaknya lumayan mengurangi kebosanannya berkeliling, menjelajahi lorong pajangan.

Pemilik bibir atas dengan philtrum tajam itu, sesekali mengecap bibir yang kering akibat dehidrasi. Ia hampir kelar menata tumpukan barang di atas troli, ke masing-masing rak.

Salah satu hal paling menyebalkan,  sering membuat para karyawan menggerutu kesal adalah ini. Mereka harus kerepotan mengembalikan semua barang, yang pelanggan terlanjur ambil tapi tak jadi dibeli. Bila uang tak cukup sebagai alasan, masih bisa ditoleransi. Tapi apa mereka tidak bisa memprediksikan, jumlah harga barang dengan uang yang dibawa? Hal tersebut seringkali berulang dengan argumen sama.

"Ra!"

Rendra melempar sebungkus Chitato ke arah Tara. Posisinya berdiri, memang tepat berada di sebelah rak jajanan tersebut. Dua tangan Tara sigap menerima dan menaruhnya di tempat tujuan. Ia melirik kesal pada Rendra. Cowok itu senang membuat Tara terkejut. Kejahilannya tak kunjung surut. Padahal dia sedang menanti kelahiran anak kedua. Mestinya dia bisa bersikap lebih tenang atas statusnya sebagai bapak. Melihat muka masam Tara, Rendra hanya mengangkat dua jari membentuk huruf V. Lalu berbalik, mendorong troli-troli kosong di sekitaran.

"Kamu dicariin Pak Dirga tadi, Ra. Aku lanjut beresin troli ke depan dulu, ya!" seru Rendra kemudian pergi begitu saja.

Tara makin merana. Masih tersisa setumpuk barang batalan, sengaja ditinggalkan Rendra.

"Nambah kerjaan!" sebalnya mengerucut bibir.

Ia jadi asal-asalan mendorong troli belanja dengan setengah hati. Rasa lelah dan kantuk sudah menyergapnya, sejak toko ditutup lima belas menit lalu. Begitu barang habis tak bersisa, ia pun berniat mengembalikan troli ke depan. Kemudian bisa ikut duduk leyeh-leyeh bersama Meimei di ruang informasi. Mereka sedang bagi tugas, agar semua lekas selesai. Meimei kebagian peran lebih santai. Ia hanya perlu mengirim email hasil rekap data harian pada manajer.

"Argh! Sial!"

Tara mendongak kaget mendengar teriakan seseorang. Ia tak sadar Dirga menghampirinya. Salahnya, Dirga juga tak fokus pada situasi sekitar. Pandangannya malah terpaku pada layar ponsel, membalas pesan dari pacarnya. Sepertinya sang kekasih sedang mengomel di Whatsapp.

"Ribet amat sih jadi cewek!" rutuk Dirga sambil terus mengetik balasan. Jemarinya lincah menari di atas papan digital di tangannya. Ia mengabaikan rasa nyeri di ujung kakinya, akibat terlindas.

"Maaf, Pak! Nggak sengaja!" pekik Tara spontan. Ia pikir Dirga sedang memarahinya.

Dirga baru sadar ditabrak oleh Tara. Untung troli sudah kosong, tak terlalu menimbulkan beban berat.

Tara berusaha menyapu seluruh rasa kantuk yang menjalar di matanya. Ia pasang tampang siaga satu. Meneliti kaki Dirga, yang masih terbungkus sepatu berlogo centang. Logo yang pernah Tara baca, diartikan dan diyakini oleh bangsa Yunani sebagai dewi kemenangan dan keberhasilan. Dugaannya yakin sepatu itu asli, bukan imitasi. Mungkin harganya bisa mendekati dua juta rupiah. Tara berani memprediksi, karena kakaknya punya beberapa pasang di rumah. Ia makin kelabakan, melihat sepatu mahal tak berdosa, ternoda oleh ulahnya. Tara menelan ludah susah payah. Bukan lagi Dirga yang terpikirkan. Namun, lebih ke ganti rugi bila sang pemakai menuntutnya.

DIRGANTARA (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang