03

13 2 0
                                    


Ruby menatap jalan dari kaca mobilnya yang dibuka, ia melihat orang orang tengah berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Ia tak sengaja melihat seseorang tengah menatapnya intens dengan sorot tajam. Seakan terhipnotis, Ruby menatap balik seseorang tersebut.

Ruby melihat jelas wajah seseorang yang menatapnya. Ia seorang lelaki seumurannya, ia terlihat menyeramkan dengan pakaiannya yang serba hitam dan Hoodie sweater menutupi rambutnya tapi.... Apa itu? Ia memegang sesuatu yang berkilau, sebuah pisau? Oh apa yang dilakukan lelaki itu. Ruby bergidik ngeri, tak sadar bahwa seseorang telah masuk dari pintu pengemudi.

"Ruby."

Ruby terlonjak dengan kehadiran seseorang di sampingnya, ia melihat seseorang tersebut dengan wajah ditekuk.

"Mah, jangan tiba-tiba gitu, Ruby kaget."

"Loh, mamah gak ngagetin kamu kok. Mamah cuman negur kamu dari tadi kamu menatap seseorang di ujung jalan sana."

Ruby menghela nafas, ia sekali lagi menatap ujung jalan dan masih terlihat lelaki itu tengah menatapnya tanpa sedikitpun bergerak. Ia semakin merinding dan kembali menatap ibunya.

"Mah, mampir dulu ke Gramedia ya? Ruby pengen beli alat tulis."

"Aduh sayang, kamu bakalan telat kalau mampir dulu ke sana, masa baru masuk udah telat aja sih."

"Sebentar aja mah, sebentaaarrr." Ruby memohon agar permintaannya terkabul. Memang benar ia sudah tidak punya alat tulis lagi, semuanya habis oleh adik kecilnya-Berliana Anastasia.

"Iya, iya bawel ah."

Ruby hanya cengir dan memeluk ibunya yang sedang menyetir.

Tak lama, mereka sampai di tempat berkumpulnya para buku-buku. Ruby keluar dari mobil dan terlihat gembira menatap bangunan besar dihadapannya.

"Mah, tunggu di sini aja. Ruby gak akan lama kok."

Ibunya hanya tersenyum dan mengangguk melihat Ruby yang senang memasuki Gramedia.

-----.........

Ruby berjalan menyusuri lorong rak buku, matanya terlihat serius memilih berbagai macam alat tulis. Namun tak sengaja ia melihat seorang lelaki di sudut ruangan, tengah menatapnya tajam. Ruby membeku, bukankah itu lelaki yang dilihatnya di sebrang jalan tadi? Ya, pakainya masih sama, dan ia masih memegang sesuatu yang berkilau itu. Dengan perlahan ia berjalan kearah Ruby.

Ruby melotot takut dan dengan terburu-buru ia lari keluar bangunan besar itu, ia langsung menghampiri ibunya yang sedang berbincang di telefon.

"Mah ayo berangkat, nanti kesiangan."

"Eh, kamu sudah selesai sayang?"

Ruby hanya mengangguk dan meremas tangannya yang sudah basah oleh keringat. Jantung Ruby berdegup kencang. Sedangkan ibunya menatap heran kearah Ruby.

"Loh, belanjaan kamu mana?"

"Gak jadi mah, takut kesiangan." Ucap Ruby dan langsung masuk kedalam mobil.

-----.........

Seorang pria paruh baya namun masih dengan wajah yang tampan dan tatapannya yang tajam tengah duduk menghadap lelaki muda yang wajahnya tak jauh berbeda dengannya. Ia menyilang kakinya dan tangannya bersedekap di depan dada.

"Sudah kubilang bawa orang yang kau hajar tadi." Ucapnya dengan menatap datar seorang pemuda dihadapannya.

"Jangan banyak basa-basi, apa yang membawamu kesini Tuan.Rafardhan?"

"Apa kau sedang memanggil namamu sendiri, Rio?" Tanyanya dengan seringai dan menaikkan sebelah alisnya.

Brakk...

"Cepat katakan, jangan membuang waktu berhargaku. Dan ingat, aku sudah mencoret namaku dari marga-mu" Tegas Rio dengan menggebrak meja besar dihadapannya. Rio menatap tajam pria dihadapannya, sedangkan ia hanya terkekeh melihat kelakuan Rio yang cukup berani melawannya.

"Oh ayolah Rio, apakah kau tidak merindukan ayahmu ini?"

"Cih, ayah macam apa yang menyiksa keluarganya sendiri?" Rio mengepalkan tangannya, sungguh sakit jika mengingat perlakuan pria di hadapannya ini. Tentang bagaimana ia memperlakukan keluarganya termasuk Rio.

"Aku tidak menyiksa keluargaku, hanya...." Ucapannya tergantung dan ia menghampiri Rio. "Hanya memberi pelajaran saja. Supaya tidak ada yang menentangku sebagai kepala keluarga." Lanjutnya dengan menarik sudut bibirnya.

Cukup sudah Rio tidak tahan lagi dengannya, ia mengepalkan tangannya dan melayangkan sebuah tinju tepat ke wajah pria dihadapannya.

"Wow, kamu satu satunya orang yang berani tinju wajah saya loh." Pria itu mengelap darah di sudut bibirnya, ia tersenyum remeh kearah Rio.

"Aku bilang jangan basa-basi, cepat katakan apa maumu sebelum aku menghancurkan wajah hinamu itu."

Wajah pria itu berubah menjadi datar dan menatap Rio lekat. Ia melangkah dan berhenti di hadapan Rio, jarak mereka hanya satu langkah.

"Pulanglah ke rumah dan pindah sekolah ke luar negeri."

Rio melototkan matanya, apa apaan pria ini? Menyuruhnya pulang setelah mengusirnya habis habisan bahkan membuat hidup Rio setiap harinya menderita? Tapi, lihatlah apa perkataannya barusan, menyuruhnya Rio kembali ke sarang psikopat itu.

"Dalam mimpimu saja, aku tidak Sudi menginjakkan kakiku lagi di rumah bajingan sepertimu."

"Haha, tenang Rio. Aku tidak menyuruhmu harus sekarang kembali ke sana." Ia terus melangkahkan kakinya dan sekarang tepat bersebelahan dengan Rio, pria itu menyeringai dan membisikkan sesuatu.

"Aku kasih kamu waktu satu tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak 15 triliun dan kamu bisa membawa wanita penyakitan itu dan dan adikmu. Tapi kalau kamu gagal, kamu harus mengikuti kemauanku."

Sungguh, apa yang dipikirkan lelaki ini? Apakah hanya ada harta dan uang di pikirannya?

"Diammu berarti menyetujuinya." Pria itu kembali menyeringai dan meninggalkan Rio yang mematung dan emosi yang sudah meluap.

Rio kalap, ia menendang dan mengacak ruangan itu. Ia menendang kursi yang didudukinya tadi dan membalikkan meja.

"AAARRGGHHHH,"

Rio bersimpuh di lantai, ia sungguh tidak tahan lagi. Rio menangis dengan terus memukul dadanya.

"Kenapa? Kenapa semuanya menjadi rumit? Ibu maafkan aku, maafkan aku." Rio berkata lirih disela tangisannya.

---***---

TBC

SyaqillaChan♀️

Second Life (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang