"Kenapa Renjun hyung belum pulang juga? Aku khawatir padanya." Ucap Chenle cemas sambil berjalan mondar-mandir dan menggigiti kuku jarinya.
"Renjun akan pulang dengan selamat, Chenle. Tunggu saja ya." Ucap Haechan menenangkan.
"Kenapa Renjun hyung mematikan ponselnya? Aku ingin meneleponnya dan menanyakan kabarnya dan juga Jaemin hyung."
"Mungkin saja ponselnya lowbat. Chenle, jangan cemas ya."
Haechan mengajak Chenle duduk disofa ruang tamu sambil mengusap-usap tangan adiknya itu.
"Cuaca semakin buruk, aku sangat khawatir dengan Renjun hyung. Bagaimana jika pulang nanti dia malah sakit?"
"Hey, kau tidak boleh mengatakan itu. Renjun itu sudah dewasa, dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Jika dia sakit, tidak ada yang mau memelukku ketika menangis."
"Ada aku, Chenle."
"Tidak, kau berbeda dengan Renjun hyung."
Haechan menatap Chenle sedih. Chenle Benar-benar menyayangi Renjun. Haechan sendiri juga sama namun ia tidak bisa menunjukkannya langsung didepan Renjun.
"Chenle! Ayo kita bermain game!" Teriak Jeno dari dalam kamarnya.
"Tidak, hyung."
"Hey, kenapa?! Kau takut kalah denganku?!"
"Bukan itu!"
"Kalau begitu ayo bermain!"
Chenle bangkit dari duduknya dan menghampiri Jeno di kamarnya. Haechan sedikit lega karena Chenle bisa sedikit melupakan tentang kekhawatirannya dengan Renjun.
Sebenarnya Haechan juga memikirkan keadaan Renjun. Kenapa temannya itu tidak ada kabar sampai pagi ini?
~
"Harusnya kau menyetujui ajakan Ayahmu untuk mengantar kita ke dorm."
"Tidak, aku ingin berdua saja bersamamu."
"Ah, ayolah. Kenapa kau jadi sok drama seperti ini?"
"Aku serius, Renjun. Kau tahu? Secara tidak sadar kau membuatku tersenyum kembali. Sejak aku dibawa kerumah sakit, Ibu dan Ayahku berusaha membujukku agar ceria kembali namun tidak bisa. Hanya kau, hanya dengan sekali datang dan senyumku merekah begitu saja."
"Jangan berlebihan seperti itu, Jaemin. Aku malu."
"Hey, aku berkata jujur." Ucap Jaemin sambil memukul pelan lengan Renjun.
"Iya tapi tidak harus berlebihan seperti itu."
"Baiklah, Renjun jelek."
"Tidak seperti itu juga, Jaemin pendek."
"Hey, kau lebih pendek ya."
"Aku tidak pendek. Kau nya saja yang terlalu tinggi."
Jaemin memasang raut wajah kesal dan membuat Renjun tertawa.
"Kenapa? Harusnya kau bersyukur aku katai terlalu tinggi. Kau harus bisa lebih tinggi lagi dari Jisung."
"Ah, kau benar. Aku bingung kenapa anak kecil itu bisa setinggi itu?"
"Karena dia masih muda, jadi tumbuh kembangnya lebih cepat."
"Maksudmu aku tua?"
"jangan marah, aku yang paling tua diantara kalian berenam, dan aku juga yang paling pendek."
"Sudahlah, jangan membicarakan fisikmu. Nanti kau sakit hati."
"Tidak akan. Kenapa aku harus sakit hati ketika aku bisa membuat kalian tertawa? Tidak selamanya menghina fisik seseorang bisa membuat orang sakit hati. Kecuali jika orang itu mendengarnya dengan hati."
"Kau tidak mendengarkannya dengan hati kan?"
"Tidak. Aku mendengarkannya dengan telinga."
Jaemin kembali kesal dan memukuli pundak Renjun.
"Hey hey sudahlah! Kenapa kau memukuliku?!"
"Kau membuatku naik darah sejak tadi."
"Tidak. Aku membuatmu naik taksi sejak tadi."
"Ya ampun, Huang Renjun! Jangan membuatku emosi lagi!"
"Itu cara supaya obat penambah darah yang baru kau minum tadi segera panas lalu meleleh lalu menguap dan mengenai jantung."
"Lalu?"
"Aku tidak tahu. Setelah guru mengatakan sampai situ, aku tertidur."
"Pantas saja kau bodoh dalam pelajaran."
"Tapi aku pintar dalam membodohi orang hehe."
Jaemin tidak bisa berkata kata lagi. Dia sudah lelah mendengar jawaban tidak terduga dari Renjun. Walaupun begitu, Jaemin tetap senang karena bisa menghabiskan waktu dengan Renjun, sang moodbosternya.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] Dreamies✔️
Fiksi Penggemar[huang renjun ft. nct] "Siapa yang akan memelukku nanti jika aku menangis?" "Kalau begitu, peluk aku sekarang. Kalau bisa, kalian semua harus memelukku." "Bagaimana bisa? Tubuhmu kecil sedangkan kami banyak." "Aku punya sayap dipunggungku. Mendekatl...