"Emang udah ada calonnya?" Tanyaku penasaran.
"Aku gimana kamu aja, kamu mau?" Tanyanya dengan gaya tengil khasnya yaitu alis yang terangkat dan senyum yang menjengkelkan.
Muka ku memerah. Antara kesal, geram sekaligus geli. Dia terlalu banyak bercanda. "Abaaaang!!!!" Teriakku yang berlari mengejar langkahnya keluar rumah sambil membawa kotak pensil yang siap dilayangkan kearahnya.
"Eh iya, ampun bu, ampun." Keluhnya saat kupukuli dengan tempat pensil berbahan kain ini.
"Habisnya tengil sih!" Kataku menggebu-gebu.
"Hehe, iya. Peace, kita damai." Tangannya mengangkat keatas memperlihatkan dua jari, jari tengah dan jari telunjuk. Tanda perdamaian. Aku melipat tangan didada, sebelah kakiku menghentak-hentak ke tanah.
"Yaudah ya, saya pulang." Ujarnya, sedikit membungkukkan badan kearahku, senyumnya tak pernah hilang diri wajahnya.
Wajahku berubah sendu. "Beneran mau pulang?" Tanyaku memastikan, tak ingin ditinggal pergi.
"Iyalah." Jawabnya enteng.
"Assalamualaikum." Salamnya, detik selanjutnya ia menegakkan tubuh kemudian membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya.
"Walaykum salam." Jawabku pelan hampir tak terdengar.
Mobil keluar dari pekarangan rumah, kaca jendela mobil dibuka, memperlihatkan si pemilik mobil putih itu yang melambai-lambai kan tangannya.
Menghembuskan nafas berat. Aku kembali sendiri lagi. Memasuki rumah besar yang didalamnya ramai, namun terasa hampa. Ada dua pembantu, satu tukang kebun, satu sopir, dan satu satpam. Aku bersyukur, mereka sangat perhatian dan sayang padaku tapi tetap saja aku membutuhkan sepasang telinga untuk mendengarkan dan sebuah bahu tuk bersandar.
"Bi minah, ayah kemana?" Tanyaku saat melihatnya melintas di hadapanku.
"Anu.. neng, tuan lagi pergi keluar ada urusan kerjaan sebentar. Katanya kalo mau makan malam, duluan aja." Tutur bi minah dengan wajah tak enak hati.
"Di malam minggu begini bi?" Tanyaku kecewa. Bi minah hanya tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaan ku itu. Aku tersenyum kecut. "Makasih bi." Segera ku arahkan kakiku menuju lantai atas.
Menghempaskan tubuh di sofa kamar. Terkadang sisi egoisku mengatakan aku membutuhkan seseorang yang bisa memerhatikanku lebih dari Ayah. Tapi ayah sangat setia, hingga tak mungkin ada yang bisa menggantikan wanita cantik yang telah singgah dihatinya walaupun beliau sudah pergi lama.
Tanganku tergerak memainkan handphone dengan cassing berwarna navy dilengkapi motif love putih kecil ditengah-tengah. Membuka aplikasi pemutar musik online dan mulai memutarkan lagu-lagu indie dari playlist 'sweet indie🌹' dengan acak. Lagu yang pertama kali disuguhkan adalah lagu dari Banda Neira berjudul 'yang patah tumbuh, yang hilang berganti.'
Yang, yang patah tumbuh
Yang hilang berganti
Yang hancur lebur, Akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh
Yang hilang bergantiMulut ku ikut bernyanyi menghayati, menafsirkan makna dari kalimat-kalimat tersebut. Anggap saja ini sebagai penawar, hati yang sedang linglung. Lagu terus berlanjut, hingga tak terasa sudah lima belas menit waktu terhabiskan. Tidak! Ini tidak sia-sia, buktinya sesak yang berada di hatiku sedikit melonggar dan rileks.
Beberapa notif masuk pada aplikasi chatting berwarna hijau bergambar telepon. Bukan satu pesan namun ratusan pesan masuk sejak tadi, namun kuabaikan. Menurutku tidak ada yang menarik, hanya pesan dari beberapa grub, teman-temanku yang tak begitu mendesak dan beberapa nomor tak dikenal, mungkin para membaca yang menanyai kabar tulisanku. Biarlah, saat ini aku sedang malas menjawabnya. Moodku sedang tidak bersahabat, lain kali saja ku balasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/180067305-288-k767904.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Invisible Love
Teen FictionKau tau? Aku adalah pembohong yang hebat dalam urusan hati, apalagi saat sembunyi rasa. Bertahun-tahun aku mencintaimu dalam diam dibalik jingganya senja. Kau tak tahu bukan? Aku menyimpannya dengan apik bersama senyummu yang terpajang jelas didalam...