2☀️

28 1 0
                                    

enjoy reading this story...

🌞🌞🌞

"Mau ngapain?" Aku berhenti berjalan dan membalikkan tubuhku kehadapannya.

"Mau lamar kamu!" Ucapnya dengan nada sedikit tinggi dan nyolot. Perkataan itu sontak menarik perhatian para pengunjung. Mata-mata kepo itu menyorot kearah kami dengan tidak santai. Aku menunduk, pipiku panas, akibat malu.

"Ih bercanda mulu baang.." Aku menghentakan-hentakan kakiku kecil, memajukan bibirku kedepan.

"Iya, iya, bercanda. Saya mau bantu kamu revisi lah." Ujarnya santai, terkekeh tanpa rasa bersalah. Mataku berbinar, senyumku mengembang. Aku mengangguk antusias.

"Syahla tunggu yaa.." ucapku sebelum menyebrangi jalan. Hujan sudah reda, jadi aku tak perlu khawatir bila pakaian ku kebasahan.

Aku menaiki angkutan kota yang akan melewat kearah rumahku, dia masih menatapku dari sebrang sana, lantas kulambaikan tanganku pertanda akan berpisah diapun membalas mengikuti gerakanku. Angkot melaju meninggalkan dia yang masih berdiri disana.

🌞🌞🌞

"Assalamualaikum. Ayah, syahla pulang." Ujarku sembari membuka pintu rumah yang bak istana ini.

"Walaykum salam. La sini, ayah di dapur." Jawab ironman ku, sekaligus cinta pertamaku. Segera dilangkahkannya kaki ini menuju dapur dengan sedikit berlari.

Seorang lelaki yang sudah berkepala empat berdiri membelakangiku. Suara hentakan kakiku yang berlari membuatnya berbalik kearahku. Lantas ku mendekat dan cium tangannya.

"Ayah lagi ngapain?" Tanyaku ketika melihat mukanya yang berwarna putih berlumuran terkena tepung.

"Oma mu besok ulang tahun, jadi ayah pengen ngasih kejutan, bikin kue buat beliau." Tutur nya seraya mencuci tangannya di wastafel.

"Syahla mau bantuin ya." Kutaruh totebag berisikan beberapa buku ini di meja pantri. Lantas berjalan kearah wastafel untuk mencuci tangan.

"Yeh, udah selesai juga." Katanya yang baru saja duduk di pantri sambil meminum segelas air putih. Aku sedih, sedikit memajukan bibirku. Kecewa karena tak bisa membantu ayah membuat kue.

"Gak papa, gak usah sedih gitu. Besok kita beli kado buat oma, kamu mau kan?" Ia selalu memiliki cara untuk menenangkan.
Kuanggukkan kepalaku antusias.

"Yaudah kamu bersih-bersih gih, mau magrib. Ayah mau kemesjid." Ucapnya. Ia berdiri kemudian tangannya terangkat mengacak pucuk kepalaku yang kututupi kerudung tidak lupa senyumnya yang tak pernah berubah sejak dulu, senyuman yang selalu menyalurkan kehangatan, walaupun wajahnya sudah tidak lagi muda. Ia berlalu pergi menuju kamarnya.

Aku pun ikut melangkahkan kaki menuju kamar milikku dilantai dua. Menghempaskan bokong pada kasur ukuran king size dengan seprai kotak-kotak pastel ini. Mengodok totebagku mencari benda pipih seukuran genggaman tangan, membuka aplikasi chatting, berharap ada satu saja notifikasi darinya. Ah, benar-benar halu. Mana mungkin dia memulai chat, kalau nomorku saja tidak ia save back.

Nafasku tertarik gusar, aku mengusap wajah dengan kasar. Hatiku terus bertanya-tanya, kapan ini semua akan berhenti? Sudahlah semua hanya khayalanku saja yang terlalu tinggi hingga aku lupa akan realita yang terjadi, dari pada aku terus menerus larut dalam rasa yang tak menentu, lebih baik aku mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat magrib.

🌞🌞🌞

Mukenaku masih kupakai setelah selesai sholat magrib dan murojaah hapalan Qur'anku, sekarang aku sedang menunggu azan isya, duduk diatas sajadah biru langit ini.

Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang