"Kurasa itu terjadi karena saat itu kau benar-benar hanya berdua dengan pria yang tidak dikenal sehingga otakmu dengan cepat memunculkan rasa takut dan kilas balik dari kejadian itu. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Yunhee-ssi," ujar Nyonya Jung, psikolognya, dari balik sambungan telepon. Pagi harinya, Yunhee memang berniat untuk menelpon konsultannya itu untuk menceritakan apa yang terjadi semalam.
"Untuk sekarang, pastikan pria yang tinggal disebelahmu adalah orang baik. Dengan begitu kau tidak akan merasa khawatir lagi. Kedua, jika kau merasakan ketakutan berlebih seperti semalam lagi, lawanlah itu dengan pola pikir bahwa semua akan baik-baik saja. Ingat, kau mengatakan bahwa tetanggamu terlihat seperti pria yang baik. Terakhir, minta maaflah dengan tetanggamu itu. Aku yakin ia bingung setengah mati melihat anak orang meneriakinya seperti melihat teroris. Kau mengerti?"
"Ya, itu memalukan sekali. Dia pasti menganggapku orang gila," respon Yunhee terhadap semua saran dari Nyonya Jung.
"Ini sudah cukup lama semenjak hal semacam itu terakhir kali terjadi, bukan?" tanya Nyonya Jung.
Yunhee memutar ingatannya sejenak. Terakhir kali ia merasa ketakutan seperti tadi malam ialah ketika ia digoda oleh orang mabuk saat perjalanan pulang dari terapi, dua minggu yang lalu. "Kau benar."
"Itu berarti kau sudah membaik, Yunhee-ssi. Tapi bila hal itu terjadi lagi, pastikan aku adalah orang pertama yang kau beritahu."
"Sejujurnya, aku lebih khawatir akan kembali dicap sebagai 'si alergi laki-laki' daripada kesehatan mentalku saat ini."
Si lawan bicara tertawa di seberang sana, "Tapi itu tidak salah kan? Kau masih menjerit ketakutan saat berhadapan dengan laki-laki seorang diri. Yah, walaupun sudah tidak separah dulu sih,"
Yunhee mendecak sebal, "Kau menyebalkan, Nyonya Jung."
Nyonya Jung tertawa sebelum melanjutkan, "Kau harus percaya diri dalam melawan ketakutanmu sendiri, Yunhee-ssi. Pikiran negatif tidak akan muncul apabila energi positiflah yang menguasai otakmu. Dan ingatlah, pria baik jumlahnya jutaan kali lebih banyak dari pria jahat. Jangan khawatir."
"Baiklah, terima kasih atas nasehatmu."
****
Pikiran Yunhee kembali berkelana dengan sendirinya kepada masa saat ia dianggap alergi laki-laki oleh teman-temannya. Saat itu adalah akhir tahun ajaran di SMA lamanya, beberapa hari pasca tragedi malam itu. Yunhee memang berniat untuk menyelesaikan tahun ajaran itu di Busan sebelum akhirnya pindah ke Seoul dua pekan yang lalu.
Hari itu, sang wali kelas meminta semua siswa untuk duduk sesuai dengan kelompok belajar yang telah ditentukan untuk mendiskusikan bahan ujian akhir. Tentu saja dalam satu kelompok ada laki-laki dan perempuan. Yunhee adalah orang pertama yang duduk dalam lingkaran kursi yang telah ditentukan, diikuti oleh temannya yang lain. Namun saat dua anggota kelompoknya yang adalah laki-laki mendekat untuk duduk dalam lingkaran kelompok, gadis remaja itu menjerit.
Saat itu tubuh Yunhee bergetar hebat. Satu kelas heboh mendatanginya dan bertanya apakah ia tidak apa-apa. Yunhee menangis dan hanya dapat meneriakkan, 'MENJAUHLAH DARIKU!' kepada setiap teman laki-laki yang ikut berusaha menenangkannya.
Setelahnya, Yunhee dibawa ke ruang UKS oleh wali kelasnya. Di sana, Yunhee menceritakan secara detail tentang apa yang telah menimpanya. Tentang tragedi yang membuat dirinya tidak masuk sekolah selama beberapa hari terakhir demi pengobatannya. Wali kelas Yunhee adalah tipikal wali kelas idaman. Ia bahkan rela berbohong kepada anak didiknya yang lain, mengatakan bahwa Yunhee mengalami trauma pasca kecelakaan mobil. Padahal, Yunhee bahkan tidak mengendarai mobil untuk bepergian.
Walaupun demikian, mengubah pemikiran tiga puluh anak yang baru menginjak usia 16 tahunan tentunya bukan perkara mudah. Beberapa orang tentu tidak memercayai perkataan wali kelasnya dan tetap menganggap Yunhee mengidap alergi laki-laki—yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah untuk kondisinya saat itu. Faktanya beberapa waktu setelah kejadian itu, Yunhee lebih sering menyendiri dan berinteraksi seminimal mungkin dengan laki-laki.
Setelah ujian akhir, barulah Yunhee pindah ke Seoul, menjauhi kenangan buruk itu dan menjalani sesi terapi yang lebih intensif.
****
TING!
Suara microwave membawa gadis itu kembali ke kenyataan. Yunhee memutuskan untuk membuat brownies sederhana sebagai permintaan maaf pada tetangganya atas pertemuan pertama yang mengerikan itu. Memasak bukanlah hal sulit bagi Yunhee. Poin tersulitnya ialah harus berhadapan dengan seseorang yang jelas memiliki impresi buruk terhadap dirinya.
Setelah meletakan kue itu di atas piring, Yunhee menatap pantulannya sekali lagi di cermin, memastikan bahwa ia nampak sepenuhnya waras. Kemudian ia keluar dari unitnya dan berjalan menuju unit milik Choi Soobin.
Ding dong!
Yunhee menunggu beberapa detik setelah itu, Namun tidak ada jawaban dari dalam sana.
Ding dong!
Masih tidak ada jawaban. Mungkinkah lelaki itu masih tidur? Atau mungkin ia tidak ada di dalam?
Ding dong!
"Sebentar!" kata sebuah suara yang familier.
Yunhee menarik nafas panjang dan terus merapalkan 'semua akan baik-baik saja' di dalam hati. Sebuah usaha untuk menetralkan detak jantungnya yang terlampau cepat.
Krek. Pintu terbuka.
"Oh-," Choi Soobin nampak jauh lebih terkejut daripada Yunhee. "Selamat pagi, kau tetangga sebelahku kan? Ada yang bisa kulakukan untukmu?"
Selama beberapa saat, ia membeku. Ketakukan kembali mencoba menguasai pikirannya. Mengabaikan fakta bahwa penampilan lelaki dihadapannya ini merupakan paket lengkap yang dapat membuat wanita manapun terpesona. Dengan kaus putih polos dan wajah yang tak bercela, wanita manapun akan setuju bahwa Choi Soobin memiliki pesona yang memikat, bahkan hanya dengan wajah bangun tidurnya. Sayangnya, Yunhee terlalu kalut untuk menyadari hal itu.
"Uh... bagaimana?" tanya Soobin bingung.
"Eh- maafkan aku," respon Yunhee. Kali ini ia sungguh bertekat untuk melawan ketakutannya. Ia tidak boleh selamanya seperti ini. "Perkenalkan, aku Lee Yunhee. Aku minta maaf atas tindakanku semalam. Sejujurnya aku baru saja mengalami hal buruk yang membuatku trauma akan suatu hal. Aku harap kau bisa mengerti."
Soobin menganggukan kepalanya, "Ah, rupanya begitu. Apakah kau baik-baik saja sekarang?"
"Aku baik-baik saja. Sungguh, aku baik-baik saja," ujar Yunhee. Memberanikan diri untuk menatap si lawan bicara tepat di matanya. "Aku tinggal sendirian di sini sehingga sejujurnya aku khawatir kau akan berbuat yang tidak-tidak padaku tadi malam. Aku kelewat takut sehingga hal seperti tadi malam tidak sengaja terjadi. Tapi ternyata kau pria yang sangat baik. Maafkan aku karena sempat berprasangka buruk."
"Benarkah?" tanya Soobin dengan sangat terkejut. "Astaga aku sempat sangat khawatir saat kau bilang padaku untuk jangan mendekat. Kukira kau melihat hantu di belakangku atau semacamnya. Bahkan aku sudah berencana memanggil temanku yang bisa melihat hantu untuk memastikannya. Ah, lega sekali."
Tawa keluar dari mulut Yunhee mendengar jawaban lawan bicaranya yang sungguh diluar dugaannya.
"Ini untukmu," ujar Yunhee sambil menyodorkan brownies yang ada di tangannya. "Terimalah sebagai wujud permintaan maaf dariku. Aku harap kita bisa berhubungan baik setelah ini."
"Wah, terima kasih banyak, Yunhee-ssi," jawab Soobin sembari menerima brownies itu. Tangan mereka tidak sengaja bersentuhan saat itu. Menimbulkan sengatan aneh pada diri Yunhee, namun diabaikannya begitu saja.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Frozen Memory | TXT Soobin
Fiksi Penggemar[Completed] Malam itu, semesta menciptakan trauma mendalam bagi Lee Yunhee. Membuatnya harus pergi meninggalkan kampung halaman dan merantau ke ibukota. Namun siapa sangka, di tempat tinggal barunya ia menjadi tetangga dari trainee populer bernama...