13. B (K)

7.1K 717 77
                                    

"Abang kenapa bilang gitu ...?" tanya Syera masih dengan nada lembut.


"Kenapa, nggak terima? Makanya jadi orang tuh jangan munafik, di luar bilang enggak tapi nyatanya mau juga."

Apakah sikap Hizam bisa disebut dengan tantrum?

Hizam membalikkan badan menuju meja makan, lalu meraih sepotong roti tawar dan mengolesnya dengan selai coklat.

Sedang Syera, menunduk dan meremas gamis yang dipakainya untuk meminimalisir rasa sakit di hatinya. Menyiapkan segala kekuatan untuk tidak menbalas dengan menyakiti sang putra.

Ini masih pagi, bahkan ritual sarapan saja belum di mulai. Syera sudah merasa lelah, ia tidak tahu apa yang Hizam inginkan, ia tidak tahu apa yang Hizam pikirkan, tapi ia hanya sekedar tahu bahwa perilaku Hizam melukai hatinya.

"Nggak habis pikir, dulu kenapa abi bis--" Hizam kembali berujur di sela-sela mengunyah roti yang baru ia buat. Namun, kegiatannya tergantikan oleh keterkejutan akan suara marah dari Syera.

"ABANG SADAR NGGAK SIH, SEMUA PERKATAAN ABANG NYAKITIN HATI UMI, HA?! ABANG SADAR NGGAK APA YANG ABANG BILANG SENDIRI?!"

Sekuat tenaga Syera menahan tangis, dengan jemari yang masih setia meremas gamisnya sendiri. Nyatanya, usah Syera menahan diri gagal total.

Jika permasalahan setiap amarahnya Hizam karena sebuah pernikahannya yang akan digelar beberapa bulan lagi, Syera perlu memberi tahu lagi dengan tegas bahwa menikah lagi bukanlah keinginannya.

"UMI CUMA MANUSIA, HIZAM! ADA KALANYA UMI NGGAK BISA SABAR SAMA SEMUA YANG ABANG BILANG!"

Tiba-tiba, Hizam merasakan ngilu di hatinya.

"UMI UDAH BERAPA KALI BILANG, UMI INSYALLAH SANGGUP JADI ABI SEKALIGUS UMI BUAT KAMU DAN AILA, TAPI ABANG YANG KEUKEH BIAR UMI NIKAH LAGI!"

"ABANG SADAR NGGAK BERAPA KALI ABANG MARAH-MARAH SAMA UMI GARA-GARA KEPUTUSAN HIZAM SENDIRI!?"

"ABANG TAU NGGAK GIMANA SAKITNYA HATI UMI TIAP KAMU NGASIH TATAPAN MARAH, JUTEK, JUDES KE UMI?!"

"HIZAM TAU NGGAK GIMANA SAKIT HATINYA UMI HARUS NURUT SAMA KEPUTUSAN KAMU YANG DEMI ALLAH SAMA SEKALI NGGAK UMI INGINKAN!?"

"SAKIT, HIZAM, SAKIT!"

"Umi mati-matian bangun pagi, beres-beres rumah, nyapu halaman depan sampe belakang, masakin sarapan buat kamu, tapi kamu? Jangankan makan, nyentuh masakan Umi aja nggak kamu lakuin!"

"Nggak masalah kalo kamu nggak mau masak masakan Umi! Tapi Umi selalu khawatir sama kamu setiap pergi sekolah tanpa sarapan!"

"Umi selalu nyempetin masak siang buat kamu di pesantren biar kamu bisa makan, tapi kamu nggak pernah nyentuh masakan Umi, Hizam!"

"Umi bela-belain pulang lebih cepet dari pesantren biar bisa masakin makan malem buat kamu di rumah  ...." Mata Syera telah sembab dan merah, suara yang selalu terdengar lembut itu kini berubah menggelegar. "Tapi ujung-ujungnya Umi kasih ke bapak-bapak ronda di depan karena kamu selalu pulang larut malam!"

"Selama ini Umi selalu diam, bukan karena Umi takut! Tapi Umi menyayangi kamu! Umi nggak mau marahnya Umi bikin kamu takut berdekatan sama Umi! Tapi, Hizam ... apa nggak ada rasa sedikit aja di hati kamu buat menghargai perasaan Umi, Nak?"

(Bukan) KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang