Bab 2: Kembalikan duniaku

15 0 0
                                    

Gelap menyelimuti bumi. Berbekal lentera kecil kuberjalan melewati hutan belantara. Tidak ada siapapun kecuali suara jangkrik dan binatang malam. Aku sangat lega, karena kini beban hidupku sedikit berkurang. "Aku bebas!" pikirku.

Diantara rimbunnya semak belukar dan akar-akar yang menggantung, kulihat samar-samar sebuah tenda kecil terbengkalai dengan sebuah perapian yang baru saja padam. Kulangkahkan kaki perlahan tapi pasti, dan lentera kecil itu kumatikan. Bergerak seperti mata-mata, kubuka lembaran kain tenda itu. Hasilnya kosong! Tidak ada seorang pun di tenda itu, mungkin mereka sedang keluar, atau sudah dimangsa makhluk buas. Perutku sudah mulai memainkan orkestra merdunya, dan kakiku menjadi lemas tak kuat lagi berjalan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk dan mencari makanan jika ada.

"Siapa kamu!" teriak seseorang dari balik tenda.
Aku terkejut bukan main dan mencoba mundur perlahan-lahan.
"Jangan tangkap aku, aku hanya manusia yang tersesat," kataku meracau sambil menutup mata dengan kedua telapak tanganku.

Sepertinya orang itu paham apa yang kuinginkan. Dia mengulurkan tangan dan mengajakku untuk ikut dengannya. Ketakutan seketika merambat di dalam tubuhku. Trauma yang kualami karena hal kemarin masih belum bisa sembuh. Kugelengkan kepala karena takut kejadian ini akan terulang lagi.

"Kenapa kau tidak mau, nak?" tanya orang itu, "aku bukan penjahat dan aku tak akan melukaimu," lanjutnya. Kata-kata yang sangat membosankan, aku sudah muak dengan semua omong kosong itu.

Kuterima uluran tangan itu dan aku berusaha untuk bangkit. Kuterima bukan berarti aku ikut di jalan sesatnya, kutepis tangannya setelah berhasil bangkit kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan orang itu. Sepertinya dia mengatakan sesuatu, aku tidak bisa dengar karena jarakku yang lumayan jauh.

"Aduh!" Sepertinya aku menabrak sesuatu, kulihat sekilas ada bayangan yang melintas di belakangku. "Benar-benar menjengkelkan!"

Fajar mulai terbit dari ufuk, dan dunia menjadi terang benderang. Pemandangan yang mengagumkan menyapa diriku. Gunung berjejer, angin bersiul hingga membuat pepohonan melambai-lambai. Terlihat jauh di sebelah sana, ada satu desa kecil dengan rumah yang lumayan berjauhan. "Sepertinya aku kenal dengan rumah-rumah itu." gumamku.

Ingin kudekati, tetapi tenaga belum juga pulih. Akhirnya kuputuskan untuk beristirahat sejenak untuk melepas lelah yang menempel di tubuhku. Diriku tertidur pulas diantara rimbunnya pohon dan siulan angin.

***

Aku terbangun karena ada yang menggoncangkan tubuhku. Samar-samar kulihat wanita yang sepertinya kukenal dari wajahnya. Dia memegang kedua pundakku dan mengguncangkan tubuhku dengan keras, hingga aku merasa pusing.

"Akhirnya kau bangun juga, nak" ucap wanita itu.

Tunggu sebentar .... Dia memanggilku dengan sebutan Nak! Berarti dia ibuku. Sontak aku mengangkat tubuhku dan berusaha menghindarinya.

"Jangan mendekat! Kumohon," pintaku.

Seakan tertusuk belati, ibuku meneteskan air mata. Air mata kepedihan yang dihasilkan oleh kata-kata jahatku.

"Maafkan Ibu, Nak. Ibu tak bisa menjagamu," ucapnya sambil mengusap air matanya.

Lalu ia berdiri kemudian menjauh dariku. Langkah kakinya cepat seakan ingin segera melupakanku di dalam pikirannya.

"Ibu," ucapku lirih. Tak sanggup lagi aku menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata ini. Aku menangi sejadi-jadinya dan itu membuat ibuku berhenti melangkah.

"Aku memang anak yang tidak berguna, aku telah kehilangan semua benda berharga. Tak peduli emas atau berlian, aku hanya ingin mempunyai kebahagian seperti yang lainnya," aku meracau sambil menampar pipiku sendiri hingga tercetak bekas merah.

Ibuku berlari kearahku kemudian memeluk dengan erat. Dekapan yang selama ini kuinginkan sudah terjadi. Dia sudah berhasil meredamkan emosiku dengan kehangatan tubuhnya. Aku merasa lega, sedikit lega.

"Sekali lagi maafkan ibu, Nak. Ibu janji akan mengembalikan kebahagiaanmu yang telah lama hilang itu," ucap Ibu.

"Apakah Ibu yakin akan melakukan itu?"

"Tentu saja, apapun demi kebahagiaan anak Ibu"

Cih! Kebohongan muncul untuk kesekian kalinya. Baru saja hal yang kuinginkan terjadi, tetapi angin kesialan datang tiba-tiba. Aku menunduk dan diam terpaku.

"Ada apa, Nak?" tanya ibu.

Tetapi aku hanya menggelengkan kepala sambil mendorong ibuku perlahan. Kubalikkan badan dan perlahan meninggalkan Ibu yang duduk dalam kebingungan.

"Dio!"
"Dio!"
"Dio!" Kini dia menjerit sangat keras.

Aku tersentak ketika aku terbangun di kasur yang tak kukenal. Kulihat sekeliling ada Ibu yang sedang menutup mukanya yang berderai air mata dengan tangannya. Ada sesuatu yang mengganjal di punggung tanganku. Kulihat ternyata selang infus yang menempel dan berbalut kapas.

"Rumah sakit ...." Hanya itu yang bisa aku katakan.

Sontak ibuku terkejut dan memelukku dengan erat–untuk kesekian kalinya– .

"Akhirnya kamu sadar juga, Nak. Kamu sudah mengalami koma selama seminggu ini," ucapnya.

Oh kurasa aku mengalami Deja vu. Aku hanya mengangguk dan tidak berkata apapun kepadanya. Tak lama kemudian datang seorang Dokter dan perawat untuk mengecek kondisiku. Tabung infus yang kupakai ini segala diganti dan Dokter berbincang dengan ibuku. Entah apa yang mereka perbincangkan.

"Nak Dio, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Dokter itu.

Aku hanya mengangguk. Mungkin dia paham dengan isyaratku, lalu dia pergi dan memberiku senyuman yang sangat manis.

***

Tiga hari berlalu dan aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Keadaanku mulai membaik, tetapi tidak dengan duniaku. Klakson mobil yang bising membuat telingaku seakan ingin terlepas.

"Cepatlah bebas," gumamku.
"Dio, apa kamu mengatakan sesuatu?"
"Bukan apa-apa"

Sekitar dua jam aku termenung di dalam mobil milik ibuku. Tidak ada sepatah kata pun kukeluarkan dari mulut mungil ini.

"Akhirnya sudah sampai," ucap ibuku sambil meregangkan tangannya.

Aku sudah sampai di depan rumah, entah siapa pemiliknya. Pandanganku kosong. Aku tidak peduli dengan semua ini.

"Ah, Ibu belum memberitahumu ya." Ibu tersenyum kearahku sambil mencubit pipiku.

Tidak ada respon apapun dari diriku, hanya pandangan kosong menatap sosok manusia yang ditakdirkan untuk merawatku.

"Ini adalah rumah baru kita!" ucapnya senang.

Seperti tersambar petir, aku yang sempat melamun tiba-tiba dikagetkan oleh kalimat itu.

"Ini ... rumahku?" tanyaku.
"Iya, apa kamu suka?"

Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju. Kuangkat kakiku perlahan menuju gerbang berkarat yang ada di depanku ini.

"Assalamualaikum," ucapku memberikan salam.
"Masuklah, tidak ada siapapun disini kecuali kita berdua."

Sudah keseharianku untuk mencari kenyaman tiada tara, dimana lagi jika bukan kasur!

"Sepertinya ini kamarku, ya?" tanyaku dalam hati.

Kuputar kenop pintu perlahan, dan kudorong pintu itu. Mataku terbelalak ketika melihat isi kamar itu. Seperti mendapat jackpot saat lotre, pemandangan di depanku ini tak kalah menariknya. Lukisan yang menempel di dinding serta corak cat yang sesuai dengan keinginanku.

"Apa kamu suka?" Suara itu tiba-tiba menggangguku.

Aku menghela nafas, dan segera merebahkan diriku diatas bantalan lembut.

"Tidak Juga." Hanya itu kalimat yang keluar dari pita suaraku.
"Mungkin kamu belum terbiasa."
"Mungkin juga."

Lalu ibu meninggalkan kamarku dan tak lupa untuk menutup pintu tua itu.

"Rasanya seperti di Surga, ya" gumamku.

Berkemah di NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang