Cerpen [1]📖

8 2 12
                                    

Jika terdapat kesamaan cerita, ini ketidaksengajaan.

Jika tidak suka dengan alurnya lebih baik tinggalkan cerita ini.
Jika suka dengan ceritanya tinggalkan bintang 😊










Mungkin Nanti

Sudah menjadi kebiasaan Gadis yang selalu memainkan benda pipih yang mengantarkan jari-jari nya ke play music dan tak lupa pula handset yang selalu mengisi telinganya ia gunakan untuk membuatnya menghilangkan penat dari aktivasinya di pagi hari, sambil meregangkan tubuhnya yang kaku dan mendarat ke pulau kapuk, tidak tanggung-tanggung dengan volume yang keras ia dengarkan bahkan ia merasa puas. Sekelebat pikiran tentang apa yang pernah Gadis ingin lakukan entah sampai kapan itu akan menjadi kenyataan. Perasaan yang selalu berkeinginan namun hati yang selalu bertolak belakang.

Tidak ada suara lanjutan dari music yang diputar dan benar Gadis tertidur semalam. Setelahnya, Gadis mandi bersiap-siap untuk sholat dan berangkat sekolah. Hanya dengan cara ini supaya Gadis bisa bangun lebih awal tanpa merasa pusing bukan karena gadis malas tetapi gadis merasa lebih nyenyak jika tertidur dibandingkan dengan Gadis sengaja tidur.

Satu meter dari tempat duduk Gadis nampak Riska yang sedang berbincang-bincang dengan temannya. "Lagi ngobrolin apa?" Tanya Gadis berdiri disamping Riska, serentak teman Riska termasuk Riska juga melihat kearah Gadis. Riska mengambil kursi dari meja sebelah untuk Gadis duduk, tanpa Gadis sadari Riska menyuruh temannya pergi dengan kode yang ia berikan.
"Gimana?" Apa yang dimaksud Riska ini kenapa dia balik bertanya, tentu Gadis belum mengerti yang dimaksudnya dia datang menanyakan Riska tentang topik yang dibicarakannya lalu kenapa dia balik bertanya. "Gimana apanya?" Gadis duduk berhadapan dengan wajah Riska yang siap menginterogasi seperti Gadis ini penjahat yang datang menyerahkan dirinya sendiri ke penjara. "Belum bicara lagi? Aishh Kapan kau ini mau berani bicara berterus terang?" Gadis menundukkan kepalanya bukan berarti ia menangis tetapi dia sedang memikirkan apa yang akan dia lakukan sekarang, benar kata Riska kapan dirinya berani mengutarakan keinginannya, empat belas tahun bukan waktu yang singkat bukan?. "Sudahlah mungkin belum saatnya untuk kamu Gadis, maaf teman mu ini mengungkit lagi". Tepukan pelan pada bahu Gadis oleh Riska. Setelah itu, Riska membayar jajanan sebelum mereka kembali ke kelas.

Kring......Kring.....Kring......

"Mau langsung pulang sekarang Ris? Kalo enggak temenin ke toko buku sekalian ngobrol sebentar bisa ngga?" Gadis mencegah Riska yang hendak keluar kelas, tidak seperti biasanya melihat Riska seperti buru-buru Gadis memutuskan tidak jadi ke toko buku dan langsung pulang. Sepanjang perjalanan Gadis merangkai kata-kata dan mencobanya nanti dirumah.

"Assalamualaikum" salam Gadis memasuki rumah dan seperti dugaan Gadis tidak ada orang yang menyahutinya. Sudah tidak heran bagi Gadis ketika pulang sekolah tidak disambut oleh orangtuanya jangankan disambut dirumah ada orang saja pun jarang.
"Pasti tidak ada lauk" ucap Gadis seraya membuka tudung makanan, dan benar dugaannya. Gadis menghela nafas yang kemudian mengambil telur didalam kulkas. Tangannya yang telaten mengolah telor yang akan dimasaknya. Tidak butuh waktu yang lama untuk Gadis menyantap hidangannya, sesegera mungkin Ia membereskan dan membersihkan peralatan yang digunakannya tadi. Gadis tidak ingin orang tuanya memarahi karena kesalahan yang dilakukannya meskipun itu benar menurut Gadis tetapi belum tentu benar menurutnya.

Jam menunjukkan pukul tujuh, kedua orang tua Gadis sudah menapakkan kakinya dirumah. Badan yang basah akan keringat, tubuh yang lemas karena pekerjaan yang dilakukannya. Gadis tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tuanya membuat Gadis menahan rasa ingin membenci orang yang disayanginya. "Apa sudah cukup uangnya Pa?" Tanya Mina sembari melepas kaos kaki yang dipakai dan menaruh kembali kedalam sepatu pantofel nya. Abdul berdecak kesal. "Belum, sudahlah kamu ini selalu bertanya seperti itu. Kamu jangan memikirkan dirimu sendiri Mina kamu belum menanyakan kepada Gadis bukan!." Abdul Pergi meninggalkan Mina dengan raut kesal berniat membersihkan diri dari keringat yang bercucuran.

Tok...tok...tok..

Pintu kamar Gadis terbuka dengan seorang yang hampir menginjak usia empat puluh tahun berdiri didepan pintu yang kemudian menghampiri Gadis di ranjangnya. Gadis heran, tumben sekali Mina datang kekamar nya  jarang-jarang dia menengok anak sulungnya itu. "Ada apa?" Tanya Gadis bisa dibilang tidak sopan dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Merasa dirinya tidak dihargai oleh Putrinya Mina kembali bertanya. "Apakah saya mengajarkan kamu seperti itu ketika berbicara dengan orang lain?" Dengan ucapannya yang tegas membuat Gadis sedikit tidak berani membantah namun ia tau ini saatnya untuk mengungkapkan yang ia rasakan. "Anda berbicara seperti itu layaknya anda benar-benar mengajarkan betul tentang etika dan sopan santun kepada saya. Kemana sajakah anda selama empat belas tahun ini? Anda memang berada satu atap dengan saya tapi bagi saya rumah ini seperti kosong yang hanya saya sendiri berada didalamnya." Cairan bening menetes menyusuri permukaan kulit pipi Gadis, semua yang ingin dia sampaikan semua yang ingin dia ucapkan terwujud.

Plak.

Perih, Gadis merasakan sakit dipipi kanannya. Mina menampar Gadis dengan emosi nya ketika mendengar Putrinya berbicara seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya sekarang ia sedikit menyesal menampar Gadis. Hanya sedikit camkan itu. "dan satu lagi, saya tidak akan pergi dari rumah ini bersama kalian saya rasa rumah peninggalan Kakek ini sudah cukup untuk saya, terlalu banyak kenangan bersama Omma. Saya sangat berterimakasih sebelumnya kepada anda yang sudah melahirkan anak yang tidak faham sopan santun ini. Terimakasih juga sudah meninggalkan saya disaat saya berumur sebelas bulan dimana saat itu anda seharusnya bersama saya mengasuh saya bukan malah menitipkannya kepada Omma demi materi yang anda cari. Saya bersyukur Omma mau mengasuh saya dengan sepenuh hati sampai sekarang saya berumur enam belas tahun. Tidakkah anda berfikir pada saat itu apa yang dirasakan Bapak ketika anda memutuskan pergi?.

Saya hanya ingin agar anda lebih memahami apa yang saya rasakan dan saya hanya ingin dikasih sayang di perhatikan oleh anda apakah sesulit itu melakukannya Bu?." Tangis Gadis menjadi diakhir Kalimat yang diucapkannya. Lega rasanya bisa mengungkapkan semua apa yang ada dalam hati terdalam Gadis, namun rasa bersalah juga menghampiri Gadis. Sempat terlintas dibenak Gadis "apakah ia pantas berbicara seperti itu kepada orangtuanya?" Gadis tahu itu semua demi dirinya, namun sedikit rasa tidak ikhlas untuk kehilangan kasih sayang ibunya yang seharusnya ia dapat sejak kecil dulu dan sampai Gadis menjadi remaja pun tidak ada yang berubah Mina yang selalu mengabaikan Gadis dan Gadis yang selalu kesepian. Mina meninggalkan Gadis dengan emosi bercampur rasa bersalah yang dipendam nya.

Selama ini Gadis hanya bercerita pada Riska dulu Omma nya yang selalu mendengarkan keluhan Gadis sekarang Omma sudah bahagia bersama Kakek. Belum ada orang lain selain Riska yang dapat Gadis percayakan. Selama Gadis bercerita tentang apapun itu Riska bisa seolah-olah memposisikan dirinya sebagai Gadis. Tak jarang pula Riska dan Gadis saling bercerita tentang masalah yang dihadapi mereka. Dalam komitmen mereka sebesar apapun masalahnya sekecil apapun kebahagiaan yang mereka dapat mereka harus saling berbagi dan memahami.









Maafkan jika typo bertebaran 🙈
Yaudah

:"

STORY🎀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang