Bandung, Juli 2019
Udara dingin mulai menelusup lewat jendela dan membelai tanpa ampun seluruh tubuhku. Bulu kudukku pun sudah berdiri yang membuatku segera mengusap kedua lenganku. Kupakai jaket pink yang selalu kubawa di dalam tas. Langit yang mendung mulai menjatuhkan berjuta titik-titik air ke permukaan bumi. Lama-lama rintik-rintik itu menjadi hujan yang deras.
Yah, hujan di siang hari begini lebih enaknya berbaring di tempat tidur sampai terlelap daripada mendengarkan rumus-rumus Fisika yang dilontarkan oleh guru laki-laki berusia sekitar empat puluhan tahun itu.
Aku tidak sabar mendengar bel pulang dibunyikan. Bukan. Bukan karena ingin cepat-cepat pulang dan tidur. Hanya saja, ada ciptaan Tuhan yang mendekati kata sempurna yang harus kulihat setidaknya dua detik pun sudah cukup. Kuakui, kalimatku berlebihan. Akan tetapi, percayalah. Kalimat famous itu tidak akan ada bedanya bila juga diucapkan oleh para cewek sepertiku. Itulah salah satu bentuk kekaguman dan ucapan terimakasih para kaum Hawa kepada Tuhan yang telah menciptakan kaum Adam dengan pahatan pada wajah mereka yang mendekati sempurna. Namun, aku tidak hanya melihat rupanya, aku juga melihat kebaikan hatinya. Jadi, kalian jangan asal menarik kesimpulan bahwa aku hanya cewek yang sama seperti cewek kebanyakan, yang menyukai cowok hanya karena tampangnya. Dan aku berbicara berdasarkan fakta karena aku sendiri bukan cewek seperti itu.
Aku menolehkan kepala ke arah jendela di samping kiriku. Di saat yang bersamaan, sosok itu baru saja lewat tepat di depan mataku. Meskipun sekilas, aku sangat hafal dengan aura'nya'. Jadi, aku yakin itu pasti 'dia'.
Ya, seyakin-yakinnya aku pasti ujung-ujungnya jantungku akan berdebar lebih cepat dari biasanya. Tidak usah ditanyakan lagi. Itu sudah pasti karena 'dia'.
Bel tanda pulang pun akhirnya berbunyi. Membuatku seketika tersadar kembali dari lamunanku.
"Baik, kita sudahi dulu sampai di sini. Jangan lupa kerjakan dua soal tadi di rumah. Sampai ketemu di pertemuan selanjutnya. Selamat siang," pamit Pak Damar--guru Fisika, lalu keluar.
"Selamat siang, Pak," jawab seluruh kelas serentak.
Aku pun segera merapikan buku-buku dan alat tulisku untuk dimasukkan ke dalam tas. Setelah itu, aku pamit pulang duluan ke teman semejaku, Caya.
Aku mencari keberadaan'nya' di mana-mana, masih di lingkungan sekolah. Kalau tidak salah lihat, tadi 'dia' berjalan di belakang mengikuti kedua sahabat'nya' yang berjalan duluan. Selalu seperti itu.
Setelah sepuluh menit mencari, akhirnya mataku menangkap ketiga sosok itu di parkiran. Sepertinya mereka sedang bersiap-siap untuk pulang. Namun, aku hanya fokus pada salah satu di antara mereka. Tentu saja kalian pasti tahu siapa. Ya, 'dia'.
Lagi-lagi jantungku berdetak lebih cepat. Ini tidak baik. Akhirnya, perlahan-lahan aku pergi dari tempatku berdiri yang tidak jauh dari mereka dengan senyum yang terus menghiasi wajahku.
-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
See you next part :*
Jangan lupa untuk vote, comment, and share ya 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Metafora : Without Saying Goodbye ✔️
Teen Fiction⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- Namaku Sheyla Andara. Aku hanyalah gadis remaja biasa yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Aku bukanlah gadis cantik seperti di novel-novel yang dipe...