Tolong bantu vote, ya. Hargai kerja kerasku menata alur cerita ini kembali hiks.
.
.
.
Aku tuh kadang mikir, sebenarnya aku yang gak tahu diri ngemis vote sama kalian atau kalian yang sebenarnya tidak tahu cara menghargai karya seseorang?
.
Yang baca itu banyak—meski di antaranya memang ada aku, tapi selebihnya adalah kalian yang singgah—tapi tidak memberikan vote hampir sama sekali.
.
Aku enggak pernah keberatan, kok, kalau kalian enggak komen. Tapi seenggaknya bisa vote, 'kan? Dari awal aku emang membebaskan kalian untuk mem-vote bagian yang disuka, tapi bukan berarti malah tidak memberikan vote.
.
Awal part ini banyak votenya, tapi semakin lama votenya menurun. Sedih banget. Salah satu alasan aku mager update karena apresiasi yang kurang.
.
Karena kurangnya antusias (vote) aku semakin berasumsi kalau ceritaku jelek.
.
Semisal bukan karena teman-temanku dan aku sendiri selalu berusaha meyakinkan diri sendiri, pasti udah lama aku tenggelamkan akun ini.
.
Tapi aku terlalu sayang.
.
Tolong kerja samanya, ya. 🥺
.
.
.
.Aku menoleh ke belakang. Melihat pantulan diriku sendiri di depan cermin. Memastikan bahwa penampilanku tidak berantakan seperti biasanya. Aku sendiri tidak mengerti kenapa melakukan ini. Mungkin karena ini merupakan kali pertama aku pulang dengan seseorang yang lebih dewasa dariku jadi aku harus terlihat rapi. Kak Jimin itu wangi, pakaiannya selalu terlihat licin, Jungkook saja kalah rapi dengan kak Jimin. Jadi, mana mungkin kubiarkan diriku terlihat compang-camping di depan orang yang tampak perfectionist?
Tepat ketika aku membalik badan seraya melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan, kak Jimin tiba di depanku. Mengendarai mobil hitam methalic keluaran terbaru. Beberapa detik aku sempat terperangah, melihat kembali diri sendiri dari ujung kaki hingga dada; bukankah sangat jelas kasta kita berdua? Aku terlihat seperti pengasuhnya.
"Ayo, masuk!" perintah kak Jimin seusai membukakan mobil dari dalam. Buru-buru kulangkahkan kaki, berhenti di ambang pintu lantas bertanya, "Nanti bayar, tidak?"
Kulihat kak Jimin terkekeh karena tanyaku. "Ada-ada saja," tuturnya kemudian melajukan kemudinya seusai aku masuk ke dalam mobil.
Hening dan canggung menguasai suasana. Lima menit lagi sampai, tapi tidak ada pembicaraan tidak berfaedah satu pun yang keluar dari mulutku seperti awal tadi. Rasanya pita suaraku terikat kuat sehingga mengeluarkan suara dalam bentuk deham saja tidak mampu. Sampai akhirnya kak Jimin bertanya letak rumah, barulah aku mampu bersuara.
"Rumahmu yang mana, Ji?"
"Lima rumah lagi dari sini, di sebelah kiri," jelasku singkat.
Kak Jimin tampak mengamati sekitar, menghitung rumah yang telah kami lewati, kemudian berhenti persis di depan rumah yang kumaksudkan. "Kos?"
Aku mengangguk menanggapi. "Aku berasal dari Busan, dan yeah ... seperti yang Kakak lihat, aku sebatang kara di Seoul ini." Kulihat kak Jimin menatapku penuh iba, sebab itu buru-buru kuangkat kedua tanganku menenangkan lantas memberi penjelasan, "Itu tidak seperti yang Kak Jimin pikirkan." Aku meringis di akhir kalimat. "Hubungan kami sangat baik, bahkan ayah dan ibu juga sering mengirimiku bahan makanan. Hanya saja, aku ingin hidup mandiri. Aku terlalu malu karena selalu menyusahkan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
CRY; Santhemum-JK [TAMAT-REVISI]
Fanfiction[Tahap Revisi] [Langsung dibaca saja karena selesai revisi akan di unpub untuk keperluan terbit] Fanfiction Jungkook, Jimin, OC ®18+ School, Young Adult, Psikologi, Drama Jungkook selalu berusaha menjelaskan tidak ada yang salah dari cinta. Na Eu...