Heartbreakingly Precious

17 0 0
                                    

Tengah malam menjelang, Nawang hendak membuka pintu rumahnya yang baru saja diketuk perlahan. Langkah kaki segera menyergap area depan kediaman, napas diatur perlahan sebelum keberanian terkumpul untuk menyambut tamu.

"Maaf, aku datang begitu larut. Aku tidak tahu jalanan akan semacet itu."

Nawang menghentikan udara masuk ke dalam paru-parunya untuk setengah detik yang cepat. Penampilan pria di depannya masih sama seperti yang bisa dia ingat, seolah masih sangat segar dalam angannya. Aroma tubuhnya pun, bahkan konstelasi bintang di pipinya--masih serupa dengan yang tergulung rapi dalam kotak memorinya.

Tanpa sadar, renggutan tangan Nawang di kenop pintu mengerat. Terlebih ketika keduanya bertemu pandang, dengan binar salah satu yang tak lagi bisa diterjemahkan sebagai bahasa afeksi.

Nawang patah, seharusnya ia tidak mencari tahu atau mencoba menemukan bukti tentang sisa perasaan di antara mereka.

Semuanya telah usai, Nawang tahu, tetapi ia tidak pernah belajar.

"Nawang, boleh aku masuk?"

Sepasang mata mengerjap cepat, wanita di balik pintu segera menepikan punggung ke kusen. "M-masuklah." Terbata, Nawang merutuki kalimatnya yang terdengar sangat gugup. Sungguh, sebenarnya apa yang perlu ia khawatirkan?

Banyak hal.

Lelaki yang bertamu masuk dengan tubuh dimiringkan, sebisa mungkin menghindari kontak tak sengaja dengan Nawang. Ruang tamu dengan tiga sofa dan satu coffee table menyambut pandangan si pria setelah ia melepas sepatu.

"Kamu mengubah desainnya?"

Nawang masih belum selesai dengan seluruh perasaan yang ia coba taruh teratur. Wanita itu tak mendengar sama sekali pertanyaan sang tamu padanya. "Ja--Angkasa, mau minum apa?" Ia mengajukan tanya ketika telah berdiri berdampingan dengan sang lelaki.

Pria yang dipanggil Angkasa menengokkan wajahnya pada Nawang yang tampak menunggu jawaban. Pandangannya terlihat asing, Nawang tak bisa membaca apa-apa dari sana.

"Aku tidak akan lama." Angkasa menjawab sembari menghela napas. Jaket biru indigo ia lepas sebelum dilipat dengan asal. "Di mana Darel? Sudah tidur?"

Nawang tidak tahu seperti apa dia terlihat dalam jernih elok mata Angkasa, tetapi ia bisa merasakan bagaimana perasaan antusiasnya luntur mendengar jawaban sang pria.

Mengumpulkan kekuatan yang tercecer, Nawang berusaha menjawab. "Dia belum lama tertidur, sedari sore terus mengigau."

Nawang melihat Angkasa menyimpan seluruh bawaannya di karpet samping sofa. Hatinya menangis keras ingin menyuarakan bahwa Darel tidak membutuhkan apapun yang dihadiahkan untuknya.

Darel hanya membutuhkan Angkasa, ayahnya yang paling ia rindukan. Putranya tak mengharapkan mainan apapun sebagai pengisi kekosongan peran orang tua yang lengkap. Putranya tidak membutuhkan pengganti keberadaan Angkasa apapun wujudnya.

"Angkasa." panggil sang wanita perlahan, seolah Darel yang terlelap di kamarnya akan terbangun akibat bebunyian yang mengganggu. "Lain kali kamu tidak perlu membawa apa-apa. Sudah terlalu banyak barang yang kamu berikan. Dan tidak semuanya Darel pakai."

"Aku hanya ingin memberinya sesuatu." Angkasa langsung berhenti dari langkahnya menuju kamar Darel. "Apa ada dari barang yang aku berikan dan tidak disukainya? Kalau begitu, dia sedang ingin apa? Minggu depan kuberikan."

Nawang memejamkan matanya sebentar.

Dia hanya ingin ayahnya.

"Aku sanggup membelikannya apapun yang dia mau." Ada puing yang harus Nawang susun selagi membalas ucapan Angkasa, agar dua kakinya tetap mampu berpijak menapak tanah.

Bite the BulletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang