BAGIAN 1

1.3K 33 0
                                    

Dua orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan berdebu di Kaki Bukit Growong. Yang paling depan adalah seorang laki-laki separuh baya namun masih terlihat gagah. Sebilah pedang yang tergantung di pinggang semakin menambah kegagahannya. Sedangkan yang berkuda di belakang adalah seorang gadis berwajah cukup cantik, mengenakan baju agak ketat berwarna merah muda.
“Cepat, Tarsih. Sebentar lagi malam!” seru laki-laki setengah baya itu seraya mendera kudanya agar berpacu lebih cepat lagi.
Gadis yang berada di belakang menghentak-hentakkan tali kekang kudanya, mengharapkan agar kuda coklat belang putih itu berlari lebih cepat. Derap kaki kuda menciptakan kepulan debu yang menghalangi pandangan mata. Apalagi saat itu hari sudah jauh senja. Hanya semburat rona merah jingga yang meredup di balik cakrawala belahan barat.
Saat mereka memasuki tikungan jalan, tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi gadis bernama Mintarsih meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Gadis itu terkejut dan berusaha mengendalikan kudanya yang mendadak liar. Tapi....
“Ayah...!” jerit Mintarsih keras. Gadis itu tidak bisa lagi menguasai kendali. Tubuh yang ramping terbungkus baju merah muda itu terpental jatuh ke tanah, tepat saat kuda itu ambruk. Seketika laki-laki setengah baya yang berkuda di depan menghentikan laju kudanya.
“Tarsih...!”
Laki-laki setengah baya itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali gerakannya. Dan dengan ringan sekali, didaratkan kakinya di samping Mintarsih yang terduduk di tanah. Laki-laki separuh baya yang mengenakan baju putih itu membantu Mintarsih bangun.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih.
Gadis itu memeluk ayahnya erat-erat. Wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya agak bergetar. Sementara laki-laki setengah baya itu menepuk-nepuk punggung anaknya. Dipandangi kuda yang tergeletak di tanah. Agak terbeliak matanya begitu melihat sebuah benda kecil berwarna merah dan berbentuk segitiga tertanam pada leher kuda itu.
Buru-buru laki-laki setengah baya itu membawa anaknya menyingkir dari jalan. Matanya tajam memandang sekitarnya. Dan tiba-tiba saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda. Langsung pandangannya beralih pada kudanya yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Mendadak saja kuda itu jatuh menggelepar dan langsung tidak berkutik lagi. Pada lehernya terlihat sebuah benda kecil berwarna merah berbentuk segitiga.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih. Belum juga laki-laki setengah baya itu mampu bersuara, tiba-tiba terdengar siulan nyaring bernada sumbang. Sebentar kemudian siulan itu berubah lembut dengan irama merdu menyejukkan. Namun laki-laki setengah baya itu malah tergetar, wajahnya nampak pucat pasi dan bola matanya berputar. Sedangkan Mintarsih semakin erat memeluk ayahnya.
“Sayang sekali! Waktumu sudah habis, Jara Botang!” tiba-tiba terdengar suara keras dan halus bersamaan dengan berhentinya siulan itu.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat, dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju merah menyala. Wajahnya cantik sekali, bagai dewi kahyangan. Hanya saja wanita itu tersenyum sinis. Sorot matanya pun sangat tajam menusuk, seakan ingin mengoyak jantung dua orang yang berpelukan di depannya. Perlahan-lahan laki-laki setengah baya yang dipanggil Jara Botang itu melepaskan pelukan anaknya. Ditariknya gadis itu agar berlindung di belakang punggungnya. Mintarsih bergegas ber- lindung di belakang punggung ayahnya. Gadis itu seperti tidak sanggup membalas tatapan mata wanita berbaju merah di depannya.
“Sungguh sukar dipercaya, Jara Botang yang perkasa kini tidak ubahnya seperti seekor tikus menjelang ajal,” sinis terdengar nada suara wanita berbaju merah itu.
“Siapa kau? Kenapa selalu mengejarku?” sentak Jara Botang ketus.
“O... Rupanya kau masih bisa membentak juga, ya...? Bagus! Aku memang tidak suka melihat laki-laki lembek!”
Cring!
Jara Botang menarik pedangnya ke luar. Mata pedang yang tipis itu berkilatan tertimpa cahaya matahari senja yang hampir tenggelam di ufuk barat. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum dan berdiri tegak bertolak pinggang. Sikapnya menantang.
“Majulah! Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, Jara Botang!” tantang wanita itu ketus.
“Sebutkan namamu, sebelum pedangku ini memenggal lehermu!” bentak Jara Botang sengit.
“Hi hi hi...!” wanita itu hanya mengikik saja.
“Kau pasti yang membunuh kuda-kudaku, dan harus bayar mahal semua ini! Kau juga pembunuh istri dan anak laki-lakiku! Jangan mungkir lagi, perempuan laknat!” bentak Jara Botang.
“Aku tidak menyangkal. Dan lagi mereka memang sepatutnya mampus!” jawab wanita itu dingin.
“Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa...!”
“Hait!”
Jara Botang tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tidak dipedulikan lagi siapa yang dihadapinya kala mendengar pengakuan wanita berbaju merah itu. Sebuah pengakuan yang lugas tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun. Bagaikan seekor singa terluka, Jara Botang menyerang wanita cantik berbaju merah itu dengan ganas. Pedangnya berkelebat cepat mengarah pada bagian-bagian yang mema- tikan.
Namun rupanya wanita cantik ini memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan mudah setiap serangan yang datang berhasil dielakkan. Bibirnya tidak pernah lepas mengulas senyum. Bahkan beberapa kali diberikannya serangan balasan yang tidak terduga sama sekali, sehingga membuat Jara Botang kelabakan menghadapinya.
“Hhh! Ternyata hanya sebegini kemampuanmu, Jara Botang!” dengus wanita itu seraya mengelakkan tusukan pedang Jara Botang.
Dan pada saat pedang Jara Botang lewat di bawah ketiak wanita itu, mendadak saja dikepitkan lengannya. Seketika pedang itu terjepit di bawah ketiaknya. Jara Botang terkejut, dan berusaha melepaskannya. Namun jepitan itu sangat kuat. Meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga dalam, tetap saja tidak mau terlepas dari ketiak wanita itu.
“Hih!”
Tiba-tiba saja wanita itu mengayunkan kakinya, sehingga tepat menghantam keras perut Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu terpekik keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Pedangnya pun terlepas   dari tangan.  Wanita itu mengambil pedang lawannya lalu ditimang-timangnya seperti mempermainkan sebatang ranting. Dan....
“Nih, kukembalikan! Hih...!”
Wut!
Jara Botang terperangah begitu wanita berbaju merah itu melemparkan pedangnya. Senjata itu meluncur deras bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya. Buru-buru Jara Botang menggulirkan tubuhnya ke samping, sehingga pedang itu menancap dalam di samping tubuhnya.

39. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Rara AntingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang