BAGIAN 4

790 33 0
                                    

Di mana sebenarnya Mintarsih berada? Gadis itu sebenarnya tidak berada jauh dari Bukit Growong. Bahkan masih berada di sekitar kaki bukit itu. Tepatnya di sebuah dataran yang agak tersembunyi dan terlindung oleh batu-batu besar bertumpuk bagai sebuah lembah kecil. Namun batu-batu itu seperti sengaja dibuat sedemikian rupa, sehingga melingkari sebuah rumah besar.
Ada sekitar dua puluh orang pemuda tengah berlatih jurus-jurus di bagian depan halaman rumah itu. Halaman itu memang cukup luas, dan mampu menampung seratus orang, bahkan mungkin lebih. Sedangkan di bagian belakang terlihat suatu sarana tempat berlatih kekuatan fisik.
Di beranda depan, terlihat Mintarsih duduk di lantai beralaskan permadani halus bercorak kembang-kembang. Warnanya begitu serasi dan sedap dipandang mata. Di depan gadis itu duduk seorang laki-laki setengah baya didampingi seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Di belakang Mintarsih duduk bersila dua pemuda berwajah cukup tampan dan tegap. Dan di belakang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju panjang dan ikat kepala putih, duduk seorang pemuda lain yang mengenakan baju biru. Dia menyandang pedang di punggung.
“Aku benar-benar menyesal terlambat menjemput kalian,” ujar laki-laki setengah baya itu, pelan suaranya. Hampir tidak terdengar.
Sedangkan Mintarsih hanya diam saja memandangi laki-laki setengah baya itu. Semalam gadis itu memang sudah diperkenalkan, kalau laki-laki setengah baya ini bernama Citrasoma. Sedangkan wanita yang duduk di samping kanannya adalah istrinya yang bernama Dewi Wulan. Dan pemuda yang berada di belakang Citrasoma adalah putranya, bernama Ganggala. Sementara dua pemuda di belakang Mintarsih adalah dua bersaudara kepercayaan Citrasoma. Masing-masing bernama Bantara dan Andira. Kedua pemuda inilah yang membawa Mintarsih ke tempat asing bagi gadis itu.
Mintarsih juga baru tahu kalau ini adalah Padepokan Arum. Citrasoma adalah adik ayahnya. Mintarsih juga tahu kalau sebenarnya dia dan ayahnya akan ke tempat ini. Tapi sebelumnya tidak diketahui kalau ayahnya sudah menghubungi Citrasoma. Gadis itu memang mengagumi tempat ini, karena letaknya tersembunyi meskipun tidak terlalu jauh dari desa di kaki Bukit Growong.
“Kau tidak kenal wanita yang telah membunuh ayahmu itu, Mintarsih?” tanya Citrasoma lagi, setelah lama terdiam.
“Tidak,” sahut Mintarsih pelan seraya menggeleng.
“Sayang sekali, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Citrasoma.
“Tapi kita masih bisa mencari keterangan tentang dia, Kakang,” selak Dewi Wulan.
“Bagaimana kita bisa mencari keterangan, Dinda Wulan? Sedangkan Mintarsih sendiri sudah mengatakan kalau wanita itu telah dikelabui. Sedangkan setahuku, di gunung itu tidak ada lembah. Gunung itu hanya merupakan gunung batu gersang. Jadi aku yakin kalau wanita itu pasti akan mencari Mintarsih,” jelas Citrasoma.
Semua yang berada di beranda depan rumah itu terdiam. Mintarsih memang sudah menceritakan semua pengalamannya begitu keluar dari rumah bersama ayahnya, yang katanya hendak ke Padepokan Arum. Dan pamannyalah yang memimpin padepokan itu. Sekarang Mintarsih sudah berada di tengah keluarga pamannya, meskipun tanpa ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya yang tewas di tangan seorang wanita cantik yang misterius. Mintarsih sendiri tidak tahu, mengapa wanita itu membunuh seluruh keluarganya.
Gadis itu memang sudah bertanya pada Citrasoma, tapi laki-laki setengah baya itu sendiri tidak tahu. Bahkan tidak mengenal wanita cantik berbaju merah yang telah membunuh keluarga kakak kandungnya, hingga hanya Mintarsih saja yang tersisa. Dan itu juga belum bisa dikatakan tenang, karena Mintarsih membuat persoalan baru untuk menyelamatkan diri dari maut.
“Kau terlalu berani mendustai manusia berhati iblis itu, Tarsih,” ujar Dewi Wulan agak menyesali sikap Mintarsih.
“Mintarsih tidak salah, Ibu. Aku pun akan berbuat yang sama jika sadar kemampuanku tidak akan bisa menandinginya,” celetuk Ganggala.
“Kau harus menyebutnya kakak, Ganggala!” sentak Citrasoma.
“Maaf, Ayah,” ucap Ganggala buru-buru.
“Habis baru bertemu sekali ini, sih. Jadi, kaku.”
“Tidak apa, Paman. Toh aku juga mungkin lebih muda daripada Ganggala,” kata Mintarsih seraya memberikan senyum pada pemuda itu.
“Kau memang lebih muda dua tahun, Tarsih. Tapi biar bagaimanapun kau tetap kakaknya. Dan Ganggala tidak boleh seenaknya memanggil namamu begitu saja,” tegas Citrasoma.
“Ah, sudahlah. Yang kita bicarakan sekarang bukan itu!” sentak Dewi Wulan menengahi.
“Aku jadi penasaran.... Siapa, sih perempuan itu?” Gumaman Dewi Wulan memang sukar dijawab sekarang ini. Dan tak ada seorang pun yang bisa menjawab. Pertanyaannya itu memang membebani benak mereka semua. Karena tak seorang pun yang tahu, siapa wanita berbaju merah itu. Dan juga mengapa membunuh keluarga Jara Botang. Bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang ada hubungan dengan Jara Botang. Itu berarti dia akan menjarah sampai ke tempat ini.
“Paman, di perjalanan aku juga bertemu dengan tiga orang penunggang kuda. Dua orang laki-laki, dan seorang lagi wanita. Mereka juga menanyakan Padepokan Arum,” kata Mintarsih setelah cukup lama tidak ada yang membuka suara.
Citrasoma dan Dewi Wulan saling berpandangan. Demikian pula Ganggala, Bantara, dan Andira yang juga saling berpandangan. Kata-kata Mintarsih barusan membuat gadis itu jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, kenapa mereka seperti terkejut mendengarnya.
“Ada apa, Paman?” tanya Mintarsih.
“Tarsih, apa kau juga mendustai mereka?” tanya Citrasoma berbalik tanpa menjawab.
“Aku kan tidak tahu di mana Padepokan Arum, jadi kutunjukkan saja seadanya. Soalnya aku takut, Paman,”   sahut Mintarsih, menutupi hal sebenarnya. Karena waktu itu Ranggalah yang menjawab pertanyaan mereka.
“Ya, sudah...,” desah Citrasoma seraya melirik istrinya.
Dewi Wulan hanya mengangguk kecil dan tersenyum penuh arti. Wanita berusia tiga puluhan dan kelihatan masih cantik itu kemudian bangkit berdiri seraya mengajak Mintarsih masuk ke dalam. Gadis itu tidak membantah, lalu mohon diri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti bibinya. Tapi Citrasoma sempat menanyakan, ke arah mana ketiga orang itu pergi. Dan Mintarsih menjawab apa adanya tanpa ada yang dikurangi.
“Bantara, Andira, kau susul mereka dan bawa ke sebelah barat Bukit Growong. Aku akan menunggu di sana,” kata Citrasoma pelan, seperti takut suaranya terdengar sampai ke dalam.
“Baik, Guru,” sahut Bantara dan Andira bersamaan.
Mereka memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan beranda depan rumah itu. Ganggala pindah duduknya ke depan ayahnya.
“Ayah, boleh aku ikut mereka?” pinta Ganggala.
“Kau harus tetap berada di sini, Ganggala. Kalau terjadi sesuatu denganku, kau harus meneruskan padepokan ini bersama ibumu,” jelas Citrasoma.
Ganggala tidak membantah, meskipun sebenarnya ingin sekali ikut bersama dua orang kepercayaan ayahnya itu. Ganggala memang tidak bisa membantah setiap kata yang diucapkan ayahnya. Karena apa yang dikatakan ayahnya selalu dianggap benar, dan demi kebaikan semuanya. Ganggala tidak lagi membuka suara dan hanya duduk diam dengan kepala tertunduk.

39. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Rara AntingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang