BAGIAN 3

843 32 0
                                    

Pagi-pagi sekali Mintarsih sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya yang terasa pegal, menggeliat, lalu digerak- gerakkan. Baru pertama kali ini gadis itu tidur di alam terbuka beralaskan bumi dan beratapkan langit. Pandangan mata gadis itu langsung tertumbuk pada Rangga yang tengah tenang duduk bersila di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun permukaannya sangat datar.
“Ganti pakaianmu dulu, Tarsih,” perintah Rangga tanpa berpaling.
Mintarsih terkejut dan semakin heran karena di dekat kakinya terdapat sebuah bungkusan. Diraihnya bungkusan itu, lalu dibuka. Gadis itu semakin terkejut bercampur heran melihat bungkusan itu berisi seperangkat pakaian bersih, berwarna biru terang. Meskipun dari bahan yang tidak terlalu mahal, tapi cukup bagus bentuk dan warnanya.
“Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?” tanya Mintarsih.
“Tadi kubeli di desa,” sahut Rangga.
“Pagi-pagi begini?” Mintarsih tidak percaya.
“Walaupun kedai belum dibuka, tapi aku katakan pada pemiliknya kalau pakaian istriku dicuri orang. Malah aku juga diberikan potongan harga. Katanya, dia ingin kenal denganmu, Tarsih.”
“Ah, Kakang ini ada-ada saja,” Mintarsih tersipu. Wajah gadis itu menyemburat merah. Entah kenapa, hatinya begitu senang saat Rangga mengakuinya sebagai istri. Perlahan-lahan Mintarsih bangkit berdiri, namun jadi kebingungan juga. Ternyata memang tidak ada tempat untuk mengganti baju.
“Di sebelah kananmu ada sungai kecil. Kau bisa mandi dan mengganti baju di sana,” jelas Rangga seperti mengetahui kebingungan Mintarsih.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum tersipu, kemudian bergegas berjalan ke arah kanan. Sementara Rangga tetap duduk di atas batu di pinggir jalan. Mintarsih terus berjalan, dan suara air sungai mengalir sudah didengarnya. Benar saja. Tidak berapa jauh berjalan, di depannya mengalir sebuah sungai kecil yang berair cukup jernih. Mintarsih menoleh ke kiri dan ke kanan sebentar, kemudian berpaling ke belakang.
Setelah yakin tidak akan ada yang melihat, gadis itu mencopot pakaiannya yang koyak, kemudian buru-buru menceburkan diri ke dalam sungai. Terasa sejuk dan segar setelah berada di dalam air. Mintarsih membersihkan tubuhnya cepat-cepat. Sungai ini terletak tidak berapa jauh dari jalan. Dan tentu sebentar lagi banyak orang yang akan lewat di jalan itu. Mintarsih bergegas keluar dari dalam sungai, lalu mengenakan baju yang diberikan Rangga. Cukup pas, tidak kebesaran dan tidak juga kekecilan. Warnanya juga sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Mintarsih bergegas kembali menemui Rangga. Langkahnya begitu cepat dan tergesa-gesa, meninggalkan begitu saja bajunya yang koyak. Untunglah belum ada orang yang lewat di jalan itu. Mintarsih menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah desa.
“Kakang...,” panggil Mintarsih pelan. Rangga membalikkan tubuhnya dan langsung terpana begitu melihat Mintarsih sudah berada di dekatnya. Gadis itu demikian cantik setelah mengenakan baju ketat berwarna biru dan celana sebatas betis. Rangga sampai terbengong dan mulutnya ternganga, seakan-akan melihat seorang   bidadari baru turun dari kahyangan.
“Kenapa, Kakang? Ada yang aneh pada diriku...?” tanya Mintarsih.
“Oh, tidak..., tidak,” sahut Rangga agak terbata. Buru-buru dipalingkan mukanya menatap ke arah lain. Mintarsih memperhatikan dirinya sendiri. Mungkin pikirannya bertanya-tanya, apakah ada yang salah pada dirinya. Tapi tak ada kejanggalan sedikit pun. Gadis itu memandangi Rangga yang kini kembali menatap ke arah desa. Mintarsih menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
“Kakang....”
“Oh...!” Rangga agak tersentak.
“Terima kasih atas pemberian bajumu ini,” ucap Mintarsih mencoba mengusir kekakuan yang tiba-tiba saja terjadi.
“Ya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan melintasi jalan berdebu menuju desa yang telah terlihat di depan sana. Mintarsih mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Entah kenapa, Rangga jadi kaku tidak seperti semula. Mungkin masih terpana akan kecantikan Mintarsih yang kini kelihatan apik mengenakan baju yang sangat cocok dengan kulit dan bentuk tubuhnya.
Dari jauh terlihat tiga orang menunggang kuda yang datang dari arah desa. Sudah terlihat jelas kalau mereka terdiri dari dua orang laki-laki muda dan seorang wanita yang cukup cantik. Mereka berkuda tanpa tergesa-gesa. Semakin dekat, semakin terlihat. Pakaian mereka seperti layaknya kaum persilatan yang hidupnya tak pernah menetap. Penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Rangga dan Mintarsih yang berjalan di tepi.
“Maaf, Kisanak. Boleh bertanya?” terdengar ramah suara pemuda penunggang kuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam.
“Oh, silakan,” sahut Rangga juga ramah.
“Apakah Kisanak tahu, di mana Lembah Punai itu?” tanya pemuda itu masih ramah.
“Lembah Punai...?” Rangga mengerutkan keningnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu semakin berkerut keningnya ketika melihat Mintarsih nampak pucat dan serba salah begitu mendengar nama Lembah Punai. Gadis itu tertunduk, menyembunyikan raut wajah yang pucat.
“Maaf. Rasanya baru kali ini mendengar nama Lembah Punai. Mungkin para penduduk desa itu mengetahuinya,” kata Rangga sopan.
“Tidak ada yang tahu,” celetuk gadis berbaju putih yang menunggang kuda itu.
“Terima kasih, Kisanak. Maaf kami telah mengganggu,” ujar pemuda berbaju kuning itu sopan.
Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Ketiga penunggang kuda itu menggebah kuda tunggangannya, kembali meneruskan perjalanan tanpa terlihat tergesa-gesa. Rangga masih berdiri memandangi, hingga ketiga penunggang kuda itu jauh. Digamitnya lengan Mintarsih, lalu diajaknya terus berjalan. Gadis itu mengikuti tanpa berkata-kata lagi.

39. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Rara AntingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang