Tak Perlu Kata-kata

23 0 0
                                    

Dapat kurasakan angin menerpa wajahku. Aku menikmati alunan lagu dari earphone yang menyumbat kedua telingaku. Kulihat sang surya mulai terbenam, menampakkan semburatnya yang cantik. Aku memperhatikan sekelilingku. Bus yang kunaiki penuh terisi dengan banyak penumpang. Tiba-tiba, bus berhenti. Tampak seorang pemuda sebayaku bangkit dari tempat duduknya, hendak turun dari bus yang kunaiki.

"Tinggi banget..."ucapku dalam hati.

Aku terus menatapnya sampai ia turun dari bus. Ia berkacamata, memakai seragam sekolah dan tas yang disandangnya di satu bahu. Masih menatapnya, bus pun kembali berjalan. Tak kusangka, detik itu juga, ia membalas tatapanku selagi bus kembali melaju.

Keesokan harinya, aku masih memikirkan kejadian kemarin. Berharap hari ini akan bertemu kembali dengannya. Dan ternyata, benar saja. Sepulang sekolah, aku menunggu bus yang biasa membawaku pulang di halte dekat sekolahku. Dapat kulihat bus yang akan kunaiki melaju dari ekor mataku. Apakah akan ada dia? Bagaimana aku harus bertingkah?

"Waduh, kok jadi deg-deg-an gini sih?," batinku.

Saat aku memijakkan kakiku kedalam bus, mataku langsung mencari sosok berkacamata itu. Lagi-lagi, lagi-lagi. Mataku bertemu dengannya. Spontan, pipiku bersemu. Buru-buru kualihkan pandanganku, menundukkan kepala, dan mencari tempat duduk kosong. Terdapat satu bangku kosong dibelakangnya. Batinku melonjak girang.

Di sepanjang perjalanan jantungku berdegup kencang. Aku terus memperhatikannya.

"Astaga.. dosa gak sih aku kayak gini? Dari belakang aja ganteng..," batinku.

Memperhatikannya lebih dalam, aku tersentak kaget menyadari akan suatu hal baru darinya. Ada suatu benda yang menghiasi telinganya. Sebuah alat bantu dengar.

Tekadku sudah bulat. Sabtu pagi, aku sudah duduk manis di perpustakaan kota. Akhir pekan yang biasanya kuhabiskan dengan bermalas-malasan di rumah, sekarang kupakai untuk belajar di perpustakaan. Dihadapanku tertumpuk buku-buku tentang bahasa isyarat dan berbagai topik seputarnya. Buku catatan kecilku kini terisi dengan catatan-catatan tentang bahasa isyarat. Aku menghela nafas, berusaha keras untuk tidak mengantuk. Dapat kurasakan perpustakaan mulai ramai. Ku dongakkan kepalaku dan melihat sekitar. Perpustakaan kini terisi dengan banyak orang. Dari orang tua, mahasiswa, sampai anak kecil. Aku pun melanjutkan kembali belajarku.

Beberapa saat kemudian, perutku berbunyi. Lapar, aku memutuskan untuk menyudahi belajarku dan mencari makan. Setelah meminjam beberapa buku, aku pun bergegas untuk keluar. Saat kubuka pintu, tiba-tiba, DUGH! Tubuhku bertabrakan dengan tubuh orang yang ingin masuk ke perpustakaan. Barang-barangku dan buku-buku yang kupinjam jatuh berserakan di lantai.

"Oh! Sorry, sorry! Saya nggak lihat jalan," ucapku tanpa melihat orang yang menabrakku.

Aku berlutut untuk mengambil kembali barang dan buku-bukuku yang jatuh. Orang tersebut spontan membantuku merapikan bukuku. Bingung karena tidak mendapatkan balasan, kudongakkan kepalaku, menatap orang yang menabrakku. Semesta memang memiliki cara yang unik untuk mengejutkanku.

"Astaga! Cowok kacamata!," batinku.

Aku mematung, salah tingkah. Tersadar kembali, aku langsung bergegas pergi.

"S-sorry ya!" ucapku terbata-bata sebelum melewatinya, melarikan diri.

Kulihat dari ekor mataku dia berusaha untuk memanggilku dan mengejarku. Tetapi bukannya berhenti, aku malah terus mempercepat langkahku.

Kakiku membawaku ke suatu pangkalan kaki lima. Setelah memesan makanan dan minuman di sebuah pedagang kaki lima, aku terduduk merenung. Selagi menunggu hidangan yang kupesan jadi, aku kembali memikirkan kejadian beberapa saat yang lalu.

Tak Perlu Kata-kata | One-shotWhere stories live. Discover now