#1 Mula Kisah

55 5 5
                                    

Hey, lihat dia
Dia adalah manusia hina
Dasar tidak tau malu
Dengan santainya ia duduk di pojok bangunan itu
Dengan pakaian lusuh compang camping
Seraya memainkan lukanya
Sungguh menjijikkan

°---°

Beribu hinaan, cibiran, cacian, makian, tak membuat tubuh Hera goyah.


Ya, dia adalah gadis lugu itu. Namanya Hera Ethereal Petrichor. Penampilannya lusuh compang camping. Tak terawat, hingga ada luka ditubuhnya. Disebabkan oleh kuman yang bersarang ditubuhnya.

Dia sebenarnya berasal dari keluarga terpandang. Keluarga Petrichor. Tetapi sejak kejadian itu, dia tidak dianggap lagi. Sungguh malang.

"Hey gadis sial. Mengapa kamu berada di sini?. Kamu membuat pelangganku pergi karena jijik melihatmu!. Cepat pergi! ". Bentak seorang wanita paruh baya yang Hera kenal.

"Ma-maaf omma, Hera disini hanya minta sesuap nasi. Hera dari kemarin belum makan". Hera bersuara lirih dengan nada memohon.

"Omma?. Saya bukan omma kamu. Mana ada sih, yang mau punya cucu seperti kamu!. Tidak ada sesuap nasi untukmu. Pergi sana!". Mendengar hal itu, para pelanggan Apate tidak nafsu makan dan meninggalkan tokonya.

"Kamu lihat?. Semua pelangganku pergi. Itu gara-gara kamu ada disini!".

"Ma-maaf omma". Dengan geram, Apate menghampiri Hera. Dengan mengepalkan tangannya. Lalu menjambak rambut pirang Hera.

"Sekali lagi kamu panggil saya omma, nggak akan saya lepas jambakan ini. Sampai kapanpun, bahkan sampai tercabut. Ini adalah balasan buat kamu karena telah melenyapkan mereka!".

Degg....

Perkataan Apate tadi, membuat Hera mengingat kejadian itu.

Flashback on

Jumat, 20 Desember 1989

Malam hari yang dingin

Saat ini usiaku genap 16 tahun. Papa dan Mama sudah terlelap. Ini semua gara-gara aku. Mereka sibuk dengan surprise bodoh itu. Karena itu mereka kelelahan.

Aku terbangun dari kenyamanan, karena suatu mimpi aneh.'Tak usah pikir panjang Hera!' sahutku meyakinkan.

Mimpi aneh itu membuatku terbangun. Aku melihat sekeliling. Sangat gelap, gelap sekali. Aku melihat jam dinding. Tampak temaram. Setelah aku telusuri, ternyata jam menunjuk angka 12.

Aku dikelilingi oleh sekelebat hawa menusuk. Tak lain adalah hebatnya rasa dingin.

Aku mengumpulkan nyawaku sebentar. 'Humph, masih 50%. Ayolah Hera, tinggal setengah lagi!'. Sahutku terhadap jiwa yang masih medium.

'Yey, akhirnya sudah penuh!'. Aku melihat pintu dapur terbuka. Suara decitannya membuatku kaget.

'Astaga, apa itu? Sial, buat kaget aja!'. Aku melangkah sempoyongan menuju pintu dapur, dan...

Segerombolan gagak datang. 'Apa, segerombolan gagak?. Untuk apa mereka disini?. Memang disini ada bangkai?'.

Aku mencium aroma menusuk. 'Hus hus, aroma apa ini? Seperti... bau... Hah, bau darah?'. Aku mencari asal bau itu. Sampai akhirnya berujung di ruang tengah.

Aku melihat sesuatu yang tergeletak di lantai. Seketika, mata hazelku membola sempurna. 'Ma-mamaaa!!!'. Aku segera menghampiri mamaku, Rhea. Yang tergeletak lemah tak berdaya dan bersimbah darah. 'Ma-mama, mama kenapa seperti ini? Jangan tinggalkan aku, ma. Mamaaa!!!'.

Seketika itu, ada sesuatu yang jatuh dari mataku. Aku merasakannya. Sangat sakit, sakit sekali. Bak awan yang menumpahkan hujan.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menetes, tepat dengan menetesnya air mataku. 'Apa ini? Warna merah. Apa jangan-jangan... darah!. Jangan... jangan lagi. Kumohon'.

Dengan refleks aku mengedarkan pandangan ke atas. 'Oh Tuhan, jangan... jangan lagi. Papaaa!!!'.

Papaku, Khiron. Tergantung di atas Chandelier dengan kondisi bersimbah darah. Lehernya hampir putus. Diiringi dengan mata melotot dan mulut menganga.

'Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua menimpaku? Apa salahku Tuhan?!'.

Suaraku menggema, mengelilingi seantero rumah. Hingga omma terkejut mendengarnya.

'Ada apa Hera, mengapa kamu teriak?'. Saat itu, omma mulai memutar kenop pintu, dan... 'Astaga! Ya Tuhan! Hera, mereka kenapa?'. Omma menahan tangisnya, sehingga suaranya menjadi serak.

'Hera, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?! JAWAB!!!'. Teriakan omma sama denganku, hanya saja suara omma lebih serak.

'Rhea, Khiron, BANGUN!!!'. Terlihat wajah Omma kaku, panik, gelisah bercampur jadi satu. Sedangkan aku, hanya... terisak menangisinya.

'K-k-kau... pembunuh!!!'. Ucapan itu, sontak membuatku melongo. Aku tak menyangka, selama ini yang aku kenal adalah omma yang penyayang dan baik. Tapi... ia tega.

'O-omma, aku bukan pembunuh. Saat aku bangun karena suatu mimpi aneh, aku sudah melihat Mama yang terbujur kaku bersimbah darah dan papa yang tergantung di Chandelier'. Suaraku terbata-bata. Karena suatu insiden menimpaku. Sontak, omma curiga dengan suaraku. Seolah-olah aku di balik semua ini.

'Kau tak bisa mengelak, Hera. Pembunuh mana ada yang mau ngaku!'. Bentaknya dalam kecurigaan.

'K-kau sungguh tega. Menghabisi orang tuamu sendiri!. Dasar pembunuh!!!'.

Flashback off

Hera sedari tadi hanya terdiam, meratapi tragedi mengenaskan itu. Rasa sakit itu tak terasa, rasa sakit yang ditimbulkan jambakan sang omma.

Tak terasa sudah berapa lama kejadian itu terjadi. Terdengar suara kicauan burung. Ahh... bukan kicauan burung, tetapi suara beberapa orang yang melihat kejadian itu.

Para burung ~ maksudku segerombolan masa telah membentuk posisi lingkaran bulat sempurna mengerumuni Hera dan Apate.

"Bagus Apate, lanjutkan aksimu!!!". Cibiran beberapa orang kepercayaan Apate dan masa yang menganggap Hera bersalah.

"Hey Apate, apa kamu tak malu dengan sikapmu itu? ". Teguran dari masa yang kesal dengan tingkah mereka di muka umum.

"Hera, mengapa kamu diam saja diperlakukan seperti itu?".

Deg...

Hera terkejut mendengarnya, selama ini yang membelanya hanyalah Rhea dan Khiron. Tak ada orang lain. Hanya mereka berdua saja.

Sontak, Hera mencari asal suara itu. Dan, yah... Hera tidak menemukannya.

Sejak Rhea dan Khiron tiada, Hera sering mendengar suara mereka. Mungkin karena beberapa faktor. Tapi... entahlah. Nanti takdir akan mengungkapkannya.

Macedonia (Hiatus Sementara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang