Apate pov
Aku melihat sekeliling. Sangat nyaman dan damai. Seperti biasa, aku melihat para pelanggan dengan raut wajah menyeramkan. Lebih tepatnya, wajah kelaparan.
"Hey Apate, mengapa kamu hanya terdiam. Ayo buatkan kami makanan. Kami sudah lapar!!!".
Huff...
Hanya itu yang bisa aku katakan. Kepada seluruh makhluk kelaparan ini.
Ya, aku berprofesi sebagai juru masak di suatu restoran yang aku bagun sendiri. Tak besar, lebih mengarah semacam warung atau toko.
"Iya, sabar wahai raja dan ratuku. Pelayanmu ini siap memasakkan apa saja kemauan raja dan ratu semua".
Degan sabar, aku memasakkan semua kemauan para makhluk itu. 'Sabar Apate, ini profesinmu. Kamu harus menjalaninya dengan sabar. Semata-mata untuk menafkahimu, semenjak mereka tiada' batinku meyakinkan.
"Hah, akhirnya... selesai". Aku lelah, sangat lelah. Hiburanku satu-satunya dengan menghitung penghasilan yang baru saja aku peroleh.
💵💵💵
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang menjengkelkan. Anak itu. Pembunuh itu. Berani-beraninya dia datang kesini.
Aku menghampirinya dengan perasaan murka. Rasanya ingin membuang dia jauh dari muka bumi ini.
"Hey gadis sial. Mengapa kamu berada di sini?. Kamu membuat pelangganku pergi karena jijik melihatmu!. Cepat pergi! ". Bentakku kepada si pembunuh.
"Ma-maaf omma, Hera disini hanya minta sesuap nasi. Hera dari kemarin belum makan".
Cihh...
Berani-beraninya dia panggil saya omma. Minta makan segala lagi. Apakah ia tak malu, setelah melakukan semua kejahatan keji itu?
"Omma?. Saya bukan omma kamu. Mana ada sih, yang mau punya cucu seperti kamu!. Tidak ada sesuap nasi untukmu. Pergi sana!".
Melihat ada si pembunuh ~Hera, para pelangganku tidak nafsu makan dan pergi meninggalkan tokoku.
"Kamu lihat?. Semua pelangganku pergi. Itu gara-gara kamu ada disini!".
"Ma-maaf omma". Dengan geram, aku menghampiri dia. Dengan mengepalkan tanganku. Lalu kujambak rambut pirang si pembunuh ~Hera.
"Sekali lagi kamu panggil saya omma, nggak akan saya lepas jambakan ini. Sampai kapanpun, bahkan sampai tercabut. Ini adalah balasan buat kamu karena telah melenyapkan mereka!".
Aku melihat sekeliling. Tampak sepi. Hanya ada aku dan dia.
Seketika dadaku sesak. Seakan-akan malaikat pencabut nyawa siap membawa ajalku.
Rentetan peristiwa demi peristiwa tragis itu muncul di memoriku. Aku tak sanggup. Aku tak sanggup mengingatnya lagi.
Arghh...
Flashback on
Jumat, 20 Desember 1989
Malam hari yang dingin
Lelah.
Satu kata. Yup, satu kata. Kata itu saja yang bisa ku ucapkan.
Sia-sia saja. Kita melakukan itu, Khiron. Lelah. Lelah aku mengatakannya kepada si kepala batu itu.
Hera memang tidak suka dengan hal hal yang mewah. Apalagi surprise. Dia malah mengatakan 'surprise bodoh' lalu diam mematung tanpa ekspresi apapun. Hahaha. Dasar Hera bodoh.
Aku meratapi ruangan hampa di depanku. Gelap. Yang tersisa hanyalah cahaya redup dari sang rembulan.
Perlahan aku menuju kenyamanan. Mengambil para pendamping tidur. Menempatkan posisi yang sangat kusuka. Akhirnya.... Memejamkan pelipis sayu.
💤💤💤
Tik tok tik tok.
🕛🕛🕛Apa salahku Tuhan?!'.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan. Itu mengejutkanku. Aku berusaha membangunkan jiwaku ini. 'Hey Apate, sadarlah'. Aku menepuk-nepukkan kedua pipiku.
'Siapa yang berteriak di malam selarut ini? Apakah ini mimpi? Ahh... bukan. ini bukan mimpi '. Sahutku meyakinkan.
Aku mencerna suara teriakan yang tadi ku dengar. 'Sepertinya aku mengenal suara itu. Seperti... suara. Hah, suara Hera!'.
Happ...
Aku berusaha menapakkan kakiku yang lemas ini dia atas lantai marmer. Aku berjalan gontai tak tentu arah.
Sampai akhirnya aku sampai di depan rumah Khiron yang tak jauh dengan rumahku. Rumah kami bersebelahan.
Aku menuju asal suara. Aku mendengar isakan tangis. Meraung sejadi-jadinya.
Hiks...hiks...hiks
'Ada apa Hera, mengapa kamu teriak?'. Saat itu, aku tergesa-gesa memutar kenop pintu, dan... 'Astaga! Ya Tuhan! Hera, mereka kenapa?'. Aku menahan tangisanku, sehingga suaraku menjadi serak.
'Hera, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?! JAWAB!!!'. Teriakkanku sama seperti Hera, hanya saja suaraku lebih serak.
'Rhea, Khiron, BANGUN!!!'. Seketika, raut wajahku menjadi kaku, panik, gelisah bercampur jadi satu. Sedangkan Hera, hanya... terisak menangisinya.
'K-k-kau... pembunuh!!!'. Ucapan itu tiba-tiba terbersit di benakku. Seolah-olah aku tidak percaya lagi dengan Hera. Dia adalah pembunuh. Pembunuh. Pembunuh.
'O-omma, aku bukan pembunuh. Saat aku bangun karena suatu mimpi aneh, aku sudah melihat Mama yang terbujur kaku bersimbah darah dan papa yang tergantung di Chandelier'. Cihh... Suara pembunuh ~Hera itu terbata-bata. Aku tambah yakin, kalau dia adalah dibalik semua ini.
'Kau tak bisa mengelak, Hera. Pembunuh mana ada yang mau ngaku!'. Bentakku penuh kecurigaan.
'K-kau sungguh tega. Menghabisi orang tuamu sendiri!. Dasar pembunuh!!!'.
Aku langsung meninggalkan dia, dan kedua orang yang amat kucinta. Ia mati sia-sia di tangan darah dagingnya sendiri.
Aku kecewa, kecewa dengan perbuatan Hera. Mengapa dia setega itu?. Apa salah mereka sehingga darah dagingnya sendiri melenyapkannya?.
Aku segera memanggil ambulans.
Para warga sekitar berkerumun di depan rumah Khiron. Mereka berbisik-bisik. Ada yang berbisik hal baik dan hal buruk.
Aku mengedarkan pandangan keatas. Aku mencari benda yang menjadi teman hidupku. 'Hey Aether, kau berhasil mendidiknya. Ya, kau berhasil. Selamat merayakannya!'.
Flashback off
Dadaku sesak. Sangat sesak. Peristiwa itu terus berputar seperti sebuah piringan hitam berputar di atas turntable. Aku ibarat turntable tersebut dan piring hitam sebagai rentetan peristiwa tragis tersebut. Arghh....
Tanpa ku pungkiri dan sadari, para pasukan ikan sarden mengerumuni kami. Mereka bertanya seribu bahasa. Tak sedikit dari mereka juga mencibir kami.
Bagus Apate, lanjutkan aksimu!!!". Cibiran beberapa orang kepercayaanku, mereka adalah para pegawaiku. Juga cibiran beberapa masa yang menganggap Hera bersalah.
Seketika aku tersenyum miring. Membawa rasa kemenangan.
"Hey Apate, apa kamu tak malu dengan sikapmu itu? ". Teguran dari masa yang kesal dengan tingkah laku kami di muka umum.
"Hera, mengapa kamu diam saja diperlakukan seperti itu?".
Degg...
Itu seperti suara Khiron, anakku. Refleks, aku mengedarkan pandanganku ke depan. Mencari asal suara itu. Ternyata hasilnya...nihil.
Tidak ada rupa wajah Khiron disana. Yang ada hanyalah para pasukan ikan sarden dengan berbagai cibiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Macedonia (Hiatus Sementara)
FantasyBerkisah tentang kehidupan seorang gadis lugu yang berumur 16 tahun. Ia di kucilkan, di asingkan, di jauhi oleh semua orang tanpa sebab apapun. Ia dijuluki dengan sebutan gadis sial, gadis pembawa bencana, dan pembunuh. Padahal gadis tersebut sangat...