#3 The Most Beautiful but Painful Event

25 2 0
                                    

Author pov

Hari silih berganti. Mengganti hari-hari yang amat menyenangkan buat Hera. Tuhan tak adil dengannya. Kurasa.

Hari demi hari makin buruk. Tak ada titik terang. Hanya gelap yang mendominasi. Malangnya nasib Hera. Mengapa dia mempermainkan tadir Hera?

Rembulan redup. Menandakan akan datangnya sang mentari. Sang mentari tampak malu-malu menampakkan wujudnya. Seakan ia adalah musuh bebuyutan seluruh kaum.

Suara kicauan burung mendominasi disini. Para burung itu seakan mengadakan kontes menyanyi. Padahal suaranya sangatlah bising. Humphtt.

Gemercik air, angin sepoi-sepoi, udara sejuk, dan mentari dengan bahagianya memancarkan cahaya menghangatkan. Seakan saat ini adalah hari terbaik  untuk mengawali sebuah kegiatan positif.

Ini adalah hari Ahad pagi. Semua orang yang biasanya sibuk, sekarang ditenangkan  dengan segala aktifitas menghibur. Seperti joging, cfd, traveling, dan lain-lain.

Saat ini, keluarga Petrichor lebih memilih piknik di taman yang terletak tak jauh dari kediaman mereka.

"Hera, ayo sayang. Bibirnya jangan manyun gitu dong. Nanti cantiknya hilang". Goda seorang wanita kepala tiga. Ia adalah Mama Hera, Rhea.

"Ih mama, Hera nggak suka sama tempat ini. Ramai, bising, membosankan". Masih dengan raut yang sama, manyun.

"Hera sayang, tidak baik berbicara seperti itu. Masa setiap hari kamu diam saja di rumah. Nggak bosan tuh!". Goda seorang pria kepala empat. Ia adalah papa Hera, Khiron.

"Ih mama dan papa sama saja, membosankan". Gerutu seorang gadis yang sedari tadi di goda oleh kedua orang tuanya.

"Hera, kamu dari tadi ngomel terus. Berisik. Kalian bisa sehari saja tidak berdebat?. Kepalaku ini hampir pecah mendengar ocehan tidak berguna kalian!. Apa harus kita berlibur di kuburan? Sepi, hening, dan menyenangkan?". Celoteh seorang wanita paruh baya. Ia adalah omma Hera, Apate.

Sontak, ketiganya terdiam. Hening. Seakan mencerna semua yang dikatakan Apate.

Tiba-tiba mereka...

...

...

...

Bbrrr.... Hahahaha.....

Tawa mereka pecah seketika. Setelah mendengar celotehan Apate. Yang asal bicara dan membahas kuburan yang sebenarnya menyeramkan.

Mendengar tawa mereka kompak, wajah Apate berwarna merah padam. Menandakan ia akan meluapkan emosinya kepada tiga orang yang menertawakannya.

Sigap, ketiganya langsung meminta maaf.

"Maaf omma Apate tersayang!!!". Ketiganya kompak dengan mengangkat tangan kanan mereka seraya membentuk huruf v.

Setelah beberapa celotehan menggelikan, mereka menggelar karpet di atas rumput yang berembun. Rasanya seperti duduk mengapung di atas air. Sangat sejuk.

Mereka membawa beberapa makanan rumahan. Tak lupa juga dengan minumannya. Mereka bersunda gurau mengisi peristiwa paling bersejarah yang mereka punya.

Mereka semakin larut ke dalam perbincangan. Sampai akhirnya tiba-tiba terjadi perbincangan yang tidak mengenakkan.

"Hera, kalau omma meninggal karena suatu hal janggal bagaimana?". Pertanyaan itu sontak membuat Hera kalang kabut. Dadanya sesak, seolah-olah oksigen enggan memasuki tubuh Hera.

"Ke-kenapa omma berbicara seperti itu? Tidak lucu!!!". Perkataan Hera juga membuat Apate kalang kabut.

"Bukan begitu sayang, omma tidak tahu mengapa omma tiba-tiba berbicara seperti itu. Maafin omma ya sayang ". Apate yang masih kalang kabut berusaha menenangkan dirinya. Seakan tahu ajalnya sudah dekat.

Mendengar hal itu, Hera mulai tenang. Ia belum siap ditinggal orang tersayangnya. Tetapi ada dua orang yang sedang tersenyum miring, tanda mengejek.

Keadaan mulai berubah. Langit berubah warna. Yang semula biru terang menjadi hitam pekat. Petir menyambar dengan ganasnya. Tanah bergetar. Semua orang yang bersantai di taman panik. Meratapi keadaan alam yang sedang terjadi.

Hera melihat sekeliling. Suasananya sangat mencekam, seolah ini adalah akhir dunia. Angin berputar membentuk kerucut terbalik. Membawa semua yang dilaluinya.

Hera mengedarkan pandangan mencari tiga orang tersayangnya. Seketika mata hazel Hera membola sempurna. Melihat tiga orang tersayangnya sedang terbang.

What, terbang???

Mereka mempunyai sayap yang sangat besar. Mereka mirip seperti malaikat. Satu sayap putih dan dua sayap hitam.

Hera membelak ketika kedua orangtuanya, Rhea dan Khiron berwajah seram. Yang didominasi dengan warna hitam. Sedangkan ommanya, Apate bersinar mengalahkan sinar mentari. Apate didominasi dengan warna putih.

Mereka bertarung dengan sengit. Rhea dan Khiron mengeluarkan jurus andalannya. Sama halnya dengan Apate, ia juga mengeluarkan jurus andalannya.

"για χάρη του θεού του θανάτου. να τον πάρει μακριά για να αφήσει το πρόσωπο αυτής της γης. και να τα πάρετε στην κόλαση.
(Demi dewa kematian. Hilangkan dia dari muka bumi. Dan bawa dia ke neraka)".

Rhea dan Khiron berkomat-kamit melantunkan bahasa yang tidak dipahami Hera. Mereka mengangkat kedua tangan mereka. Telapak tangan mereka menghasilkan bola-bola hitam berasap. Lalu menyatukannya. Sehingga terbentuklah bola besar hitam berasap.

Tak mau kalah. Apate juga berkomat-kamit melantunkan bahasa yang tidak di pahami Hera.

για χάρη του θεού Δία, βασιλιά των θεών. με βοηθήστε και νικήστε αυτούς τους δύο κακούς δαίμονες. (Demi dewa Zeus, raja dari para dewa. Bantulah aku dan lenyapkan dua iblis jahat ini).

Apate mengangkat kedua tangannya. Dari telapak tangannya, keluar bola berwarna putih terang. Lama kelamaan terbentuklah bola yang besar, namun lebih besar milik Rhea dan Khiron daripada Apate.

Mereka mengarahkan bola tersebut lurus horizontal. Sehingga tercipta cahaya yang sangat terang. Sampai-sampai Hera menutup kedua matanya.

Slap... Hap... Hap...

Akhirnya pertempuran dimenangkan oleh dua iblis jahat itu. Apate terpental jauh. Badannya membentur sebuah pohon beringin. Sangking kuatnya, pohon beringin itu tumbang bersamaan dengan Apate yang juga ikut tumbang.

Setelah membuka mata, Hera tersadar. Keadaan kembali semula. Aman dan damai.

Tetapi berbeda dengan Apate. Ia sudah terbujur kaku tidak berdaya.

Melihat hal itu, Hera secepat kilat menghampiri tubuh Apate yang sudah menjadi jasad.

"Omma, omma kenapa seperti ini? JAWAB OMMA!!!". Hera menggoncangkan tubuh Apate bertubi-tubi, tapi hasilnya nihil.

Kedua orang yang menjadi tersangka kini tertawa senang. Melihat musuhnya sudah menemui ajalnya.

"Hahaha... Lihatlah, dia sangat lemah. Cih... Berani-beraninya dia menantang kita. Hahaha. Dia sudah mendapat balasannya. Dia pantas. Ayo kita pergi!!!". Suara menggelegar dari sang iblis. Tak lain dan tak bukan adalah Rhea dan Khiron.

Hera mencari asal suara menggelegar tadi. Ia mengedarkan pandangannya ke atas. Melihat kedua orang yang amat disayanginya.

"PAPA!!!MAMA!!! Mengapa kalian tega membunuh omma?". Saat ini Hera merasa hatinya seperti tertusuk duri. Oh, lebih tepatnya tertusuk duri tajam yang menjalar, melilit tubuh Hera.

Air mulai menetes. Makin lama makin deras. Membanjiri yang memang seharusnya dibanjiri.

"Hey anak ingusan, kamu tidak perlu tahu alasan kami membunuhnya. Dia memang pantas mendapatkannya. Hahaha!".

Dada Hera sangat sesak, sesak sekali. Ia tak pernah membayangkan kejadian seperti ini. Ia hanya tahu bahwa mereka hanyalah manusia biasa seperti dia. Bukan seperti itu.

"Hiks... Hiks... mereka tega!". Terdengar suara tangisan Hera sesegukan. Meratapi dan mencerna semua kejadian yang baru saja menimpanya.

Macedonia (Hiatus Sementara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang