0:5

1.6K 139 111
                                    

Rasa sepi dapat menghampiri kapan saja, sekalipun suasana di sekitar tengah berada dalam puncak ramai-ramainya.

Goresan pada hati terlalu kerap jaraknya, hingga tidak tahu lagi bagaimana cara membenahi agar setidaknya kembali membaik—tentu saja tidak secara total.

Senyum tipis terulas di labium sewaktu beberapa rekan magang—yang turut serta memeriahkan pesta pernikahan putri dari sang pemilik rumah sakit—menyapanya.

Kim Seokjin menarik mungil ujung labium di sela ringisan miris atas kandasnya asa yang tak kunjung bermuara pada nyata.

Ah, sebentar lagi, semua akan benar-benar berakhir—begitu pikirnya.

Amunisi sesak kian menginvasi tatkala sang mempelai wanita berjalan anggun dalam tuntunan apitan Tuan Choi, menghampiri calon pria yang telah siap untuk menggantikan peran sang ayah dari si gadis.

Sial. Kau tidak boleh menangis. Ingat. Kau adalah pria kuat, Jin.

Kim Seokjin lantas mendongak, demi menghalau gedoran yang hendak menjebolkan bendungan pelupuk.

Namun, tubuhnya tetiba menegang—kaku—tatkala menyadari ada yang salah pada lampu yang menggantung di atapan.

Mengerucutkan sebuah praduga pada perkara yang telampau sangat buruk.

Besi penggantung lampu itu sepertinya akan terputus.

Dan lagi, benda itu berada tepat di atas presensi mempelai wanita. Barangkali, hanya dengan menghitung detik, maka eksistensi dara itu akan sempurna lenyap dari guratan semesta.

Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Tanpa ba-bi-bu, Kim Seokjin lekas menyeret tungkai—tidak lagi peduli pada ratusan atau bahkan ribuan pasang mata yang menyorot langkah kelewat beraninya itu.

Seokjin berlari dan cepat-cepat mendorong torso si gadis beserta ayahnya, tanpa memikirkan jika dirinyalah yang berakhir tertimpa reruntuhan lampu.

Nuansa gembira akan sebuah pesta pernikahan, seketika berselimut mendung yang kelabu, pun sarat akan duka yang mengambang di udara.

Di tengah hela napas yang kian menjarang, Seokjin masih sempat-sempatnya mengulas senyum tatkala melihat presensi gadis yang dia damba—cinta pertamanya—selamat dari petaka.

“S-Seo-Seokjin. Ki-Kim Seok-jin. Ke-kenapa? Kenapa kau melakukan hal sebodoh itu?” pekik gadis itu kalap.

Dipangkunya kepala Kim Seokjin, tanpa lagi menaruh rasa acuh pada lelehan pekat, selayaknya kecap, yang mewarnai gaun putih bersihnya.

“Jin Oppa. Kumohon .... Kumohon jangan tinggalkan aku," bisiknya pilu.

Di sela nyawa yang nyaris terlepas, Kim Seokjin akhirnya mampu menyuarakan apa yang selama ini bersemayam di dalam hati, melalui bukaan perlahan pada labium pucatnya.

“Ak-aku men-mencintai-mu, Areum.”

Tangis gadis itu kian mengisak, bersama dengan bisikan lembut yang terucap tepat di telinga milik Seokjin.

“Aku juga mencintaimu ... Seokjin Oppa. Sangat.”

Lantas, si gadis mengecup lembut, pun penuh rasa akan buncahan cinta—yang selama ini terbungkus rapi di dalam sana—sebelum akhirnya bibir tebal itu mendingin.

Seiring dengan embusan yang telah sempurna putus, tanpa ada lagi eksistensinya.

Kim Seokjin telah mengakhiri guratan kisahnya, cinta pertama sekaligus terakhirnya.

Tetapi setidaknya, pria itu sempat merasakan lega lantaran perasaan yang tersambut kelewat apik, kendati semesta merebut paksa—melalui atma penghabisan yang mengakhiri serta ciuman manis mereka.

Fin.

a/n : Hai hai, makasih buat yang sudah mau membaca cerita ini.

Happy Kim Seokjin Day!!!

Eum, menurut kalian cerita ini bagaimana? Maapkeun daku jika belum ngena feelnya, huhu.

Daku masih belajaran nulis, soalnya, hehe.

Rencananya sih, besok-besok mau bikin kayak gini lagi, tapi buat member yang lain. Cek aja di akun wattpad aku.

Kalau misal takut nggak tahu kabarnya, bisa follow authornya—bagi yang mau aja yak, wkwkwk.

Intinya, Stay tune aja, tunggu ada yang ultah, siapa tahu daku update, ya kan?

With luv,

Isna

First and Last ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang