"Yang membekas dari lilin bukanlah lelehnya, melainkan wajahmu sebelum gelap."
Sujiwo Tejo
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
Orang bilang Bandung dingin. Kota yang dikelilingi gunung ini selalu jadi tempat lari yang lebih baik dibanding Ibukota, katanya. Tapi Lintang tidak berpikir begitu. Ia pernah dua kali pindah tempat tinggal dan Bandung adalah yang paling panas menurutnya. Sewaktu kecil, Lintang tinggal bersama Mbah Kung dan Mbah Uti di Cianjur, sebelum pindah ke Ciwidey dan akhirnya menetap di Kiara Condong. Mungkin Lintang cuma salah pilih lokasi tinggal. Andai saja ia menetap di Lembang atau Parongpong, mungkin tidak akan begini panasnya.
Sahabatnya Tari sering bilang kalau Lintang adalah anak yang kurang bersyukur. Sejak lahir terus menetap di Bandung, Tari tentu saja iri pada Lintang yang sudah cicip-mencicip daerah lain di sepanjang rekam hidupnya. Ia harus puas dengan cerita Lintang soal kebun stoberi di dekat rumahnya di Ciwidey dulu atau soal tamasya ke Cipanas yang keluarganya lakukan hampir setiap minggu.
"Liat dari sisi positifnya aja sih, Tang. Kalo maneh teu pindah ka Bandung, maneh moal papanggih jeung jelema kasep kawas urang." (*kalo lo gak pindah ke Bandung, lo ga akan ketemu sama orang ganteng kayak gue)
Lintang biasanya cuma melempar apapun ke arah Tari kalau ia sedang kepedean begitu. Tapi Lintang tetap saja mengiyakan dalam hati. Sejauh ini, hanya Tari yang membuatnya nyaman selama mereka menjalani tali pertemanan. Tari bilang, ia hanya nyambung dengan Lintang. Tidak peduli melakukan atau mengatakan apa, Tari tahu Lintang tidak akan meninggalkannya dan vice versa. Mungkin karena itu Tari rela belajar mati-matian demi bisa mengekori Lintang ke Salakanagara, SMA favorit di Bandung yang berstatus swasta.
"Naha teu daftar ka SMA Negeri wae, sih?" (Kenapa gak daftar ke SMA Negeri aja, sih?)
Lintang memutar-mutar pensil dalam genggamannya. Buku matematika terbuka lebar di atas mejanya. Alis cowok itu mengerut dalam lantaran sudah hampir dua puluh menit berlalu dan ia masih belum bisa memecahkan soal nomor lima belas.
"Dua minggu lalu, gue liat ada cowok pakai badge Saka* ngebantuin nenek-nenek nyebrang di lampu merah Suci."
Tari memutar bola matanya jengah. Seperti yang Lintang bilang, kejadian itu sudah dua minggu berlalu. Terhitung sudah dua minggu pula semangat belajar Lintang yang semula loyo mendadak membara. Sudah dua minggu juga Tari harus rela mendengarkan cerita Lintang yang terus berulang, juga menghadapi binar-binar di mata cowok itu yang jarang sekali nampak gemerlapan.
"Iya, iya. Kita masuk Saka bukan buat ngejar ITB tapi buat nyari first love lo yang bentukannya aja gue gak tau kayak gimana."
Lintang terkekeh. "Bukan first love kali, Tar. Gue kagum aja masih ada orang kayak dia di dunia ini. Ya, mungkin banyak, sih. Tapi gue belum pernah liat? Dan lo pernah mikir gak sih, apa jadinya punya kakak kelas keren kayak gitu?"
Tari mendesis gemas. "Bisa aja dia cuma iseng doang, kesambet jin murah hati dan mau nyebrangin si nenek. Bisa aja aslinya dia galak, sotoy, sok kegantengan, playboy dan buat jawab dua puluh kali lima belas aja butuh mikir berjam-jam."
Lintang mau tidak mau tergelak mendengar penuturan Tari. Memang, pikirnya, kemungkinan itu ada. Tapi Lintang memilih untuk tidak mempertimbangkannya. Cowok yang dilihatnya tempo hari tampak tulus, dilihat dari sorot matanya dan Lintang memilih percaya pada nalurinya ketimbang bujuk rayu Tari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ribuan Langkah
FanfictionCerita-cerita ini membentuk aku, mencipta kamu, menghasilkan kita. ┊ NamKook