01 : Permen Karet Ungu

194 25 9
                                    

Author note:

Maafkan segala typo di antara kita.

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀
01 : Permen Karet Ungu

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀

Lintang tidak yakin apakah tahun pertama SMA-nya akan berjalan dengan lancar setelah tahu kalau Tari masuk ke kelas yang berbeda. Kelas mereka terpisah dua pintu, dan masuk ke kelas yang berbeda dengan Tari (meski terdengar sepele) cukup berhasil membuat kegugupan Lintang yang lenyap pada awalnya kembali lagi. Dengan langkah kaki yang berat, Lintang berjalan mencari tempat duduk yang hampir separo penuh. Ia tidak mengenal siapapun di Saka, atau setidaknya siapapun di kelas ini. Di dalam kepala, Lintang sibuk berdebat mengenai apakah pilihannya nanti akan berakhir buruk? Mungkin saja teman sebangkunya ternyata sinis dan kelewat kompetitif sehingga hanya pinjam penghapus saja Lintang tidak bisa. Atau jangan-jangan terlalu banyak bicara sampai-sampai Lintang bisa jadi budek hanya dalam satu semester bersama.

Tidak, tidak. Bunda bilang jangan berpikiran negatif pada sesuatu yang kita belum tahu pasti. Lintang menarik napas, kembali menelisik wajah-wajah yang masih belum punya teman sebangku. Ia menemukan beberapa dari mereka tampak mengintimidasi dan menghapus mereka langsung dari barisan pilihan. Mengeratkan pegangan pada tali tas punggungnya, Lintang menggigit bibir dengan gugup. Ia tidak terlalu suka terjebak dalam ketidakpastian semacam ini, juga kesal pada dirinya sendiri sebab hanya beberapa hari yang lalu ia begitu yakin mengusulkan pada Tari agar mereka berpisah sekolah saja.

“Misi,” sebuah suara husky mengusik lamunan Lintang. Ia terperanjat, menyadari bahwa sejak tadi dirinya berdiri di tengah barisan meja tanpa berpindah ke mana-mana. Lintang menoleh, bersiap melemparkan permintaan maaf lantaran sudah mengganggu lalu-lalang entah siapapun yang mengajaknya bicara tadi.

Cowok itu tinggi, hampir menyamai tinggi Lintang yang bisa dibilang cukup tinggi sesuai standar baku tinggi badan laki-laki. Rambutnya agak panjang di bagian belakang, hampir nampak seperti orang yang akan jadi sasaran pertama Pak Sidi kalau ada razia dadakan. Seragam sekolahnya besar dan menelan tubuhnya yang nampak kurus. Dan wajahnya, ugh, harus Lintang akui cowok itu mungkin cowok tertampan yang pernah ia temui.

“Masih nyari tempat kosong ya?” cowok itu bertanya, lantas menghiasi ucapannya dengan sebuah tawa kotak yang lucu. Lintang mengangguk sebagai jawaban.

Cowok itu mengulurkan tangan, masih dengan senyum kotak menghiasi bibirnya. "Sama gue aja, yuk? Kenalin, gue Haydar. Haydar Aswangga."

Lintang terpekur sebentar, berusaha mencerna alur perkenalan mereka yang melesat dengan cepat. Mata Lintang yang besar bergantian memandang senyum Haydar dan uluran tangannya yang belum bersambut. Cowok itu sampai harus mengedikkan bahu demi membangunkan Lintang dari lamunannya yang panjang.

"Ah, boleh…" Lintang tersenyum kikuk, lantas membalas uluran tangan Haydar yang hampir kering tergantung di udara. "Gue Lintang."

Jabatan tangan itu tidak berlangsung lama, mungkin sekitar tiga detik singkatnya. Haydar jadi orang pertama yang menarik tangan, memindahkan telapak hangat miliknya ke punggung Lintang guna menyeretnya ke meja yang masih kosong. Mereka memilih meja keempat di barisan paling kanan, tempat yang ditutup dinding dan lebih gelap dibanding baris lainnya di dalam kelas. Lintang meletakkan topi biru SMPnya di atas meja, bersisian dengan seplastik makanan ringan yang mentornya minta agar dibawa sebagai pengganjal perut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ribuan LangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang