Kesempatan Tidak Datang Dua Kali Karya: Dylan Chandra

115 2 0
                                    


Kalau ada sumur di ladang,

Bolehkah kita menumpang mandi.

Kalau ada kesempatan di masa mendatang,

Bolehkah kita berjumpa lagi?

Sering sekali kudengar pantun tersebut. Entah di penutupan acara sekolah, acara televisi, atau hanya sekadar disajakkan saja oleh beberapa orang yang ingin terlihat "pantunis".

Oh, maafkan aku. Di mana letak kesopananku? Perkenalkan, aku Aska, anak tunggal. Lahir dari ibuku, tentunya, 19 tahun lalu pada bulan November. Tanggalnya, sesuai dengan bulanku dilahirkan. Kalian bisa tebak berapa.

Penyesalan terbesarku adalah tidak pernahnya kuhargai keberadaan orang tuaku hingga mereka tiada, terkhususnya ayahku. Ayahku sangat peduli padaku. Sangat peduli hingga hampir terlewat peduli. Ah, bodoh. Aku kesal sendiri ketika menulis ini.

Mari kita kembali ke masa kecilku. Ketika ayahku masih tinggal di Bumi, bersama-sama denganku dan ibuku.

Kita sering menghabiskan waktu bersama-sama. Setiap hari libur tiba, ada saja tujuan pergi untuk kami bertiga. Mulai dari mall, restoran terkenal, atau bahkan hanya sekadar pergi ke rumah oma.

Jika pergi ke mall, bisa dipastikan kita bersantap ria di sebuah restoran. Tidak mungkin di warung karena tidak ada warung di mall, tentunya. Setiap hendak makan, ayah selalu mengikuti kemauanku.

"Mau makan apa nih, Ka, hari ini?"

Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di otakku hingga sekarang. Suaranya yang kala itu masih sehat, bertenaga, dan pastinya ceria, selalu membuatku cepat-cepat memikirkan apa yang ingin kumakan hari itu. Kenapa cepat-cepat? Karena aku tidak mau mengecewakan ayahku. Bukan mengecewakan dalam arti membuatnya kesal, tetapi lebih ke arah mengapresiasi. Untuk apa? Tentunya karena sudah memberikan kepercayaan kepadaku untuk menentukkan makanan apa yang akan dicerna oleh tubuh kami bertiga.

Pada hari itu, kuingin sekali makan steak. Ya, sepotong daging tebal yang biasanya dihidangkan dengan sayuran dan juga kentang. Makanan orang barat lah. Entah kenapa aku ingin sekali memakan itu.

"Mau steak, Pi. Hehe. Ya, ya, boleh ya?" kataku sambil merangkul ayahku.

Tentu, ayahku tak akan menolaknya. Ibu yang ada di sana juga hanya bisa menganggukkan kepalanya mengisyaratkan sikap setujunya dengan pernyataanku. Pergilah kami bertiga menuju restoran steak yang ada di mall itu dengan muka gembira. Namun, kami tidak sambil melompat bergembira layaknya anak kecil yang baru dibelikan balon. Tidak, tidak seperti itu.

Sampailah kami di restoran. Tulisan "GLOSIS" terpampang jelas di atas pintu masuk. Terang benderang berwarna merah. Begitu menarik diriku yang kala itu masih berumur 9 tahun.

"Hore...! Sampai juga kita!" kataku bergembira.

"Iya, Ka. Pesen gih. Tenang aja, Papi yang traktir hari ini!" kata ayahku.

"Lho, bukannya emang kewajiban, ya?" canda ibuku.

Kami semua tertawa terbahak-bahak. Untung tidak sedang minum. Jika iya, bisa tersembur ke mana-mana minumannya. Setelah itu, kubaca menunya.

"Premium steaks. Wah, fix mahal. Enak sih, tapi, ya, mahal. Hehe."

Aku sengaja berkata itu agar ayahku mau membelikanku daging termahal. Ah, aku sangat licik. Betapa jahatnya diriku memanfaatkan ayahku seperti itu. Namun, ayahku tidak merasakannya karena ia peduli padaku.

"Iya, iya. Pilih aja yang kamu suka ya, Ka. Santai aja, papi beliin apa yang kamu mau, kok," kata ayahku dengan entengnya.

Hatiku ingin berteriak sekeras-kerasnya dengan senang. Betapa bahagianya mendengar ayahku berkata demikian. Aku langsung memilih yang paling mahal. Ya, tidak ada ampun dari diriku yang masih kecil itu.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now