Rindu Karya Angela Marici Dessi

73 1 0
                                    


Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau ingin 'ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu, jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan dalam waktu kuberanjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu, jatuh dan terinjak

Tanpa sadar aku meneteskan air mata sembari mendengarkan lagu ini. Lagu yang selalu ayah nyanyikan kepadaku. Aku rindu sosok Ayah yang selalu ada disaat aku jatuh dari sepeda, aku rindu sosok Ayah yang selalu mengajariku pelajaran matematika, dan aku rindu sosok ayah yang selalu menasihatiku jika aku sedang bertengkar dengan teman kecilku.

"Bu, kapan Ayah akan pulang?" Tanyaku sewaktu pergantian tahun ke duabelas tanpa Ayah. Rinduku semakin memuncak karena sangat ingin bertemu sosok ayah.

"Bentar lagi sayang, kamu sabar ya ayah lagi kerja cari uang untuk kamu." Jawab ibu sambil tersenyum dan lalu ia memberikan amplop berisikan uang yang katanya itu dari Ayah. Aku terdiam sejenak bukan itu yang aku inginkan, aku tidak ingin uang. Aku hanya ingin bertemu ayahku, terkadang aku iri dengan anak lain ketika pergi sekolah oleh ayahnya, ketika belajar ditemani oleh ayahnya, ketika dipeluk dan dikasihi oleh ayahnya. Aku rindu kasih sayang dari ayah.

Sampai pergantian tahun ke delapan belas aku berhenti menanyakan sosok ayah kepada ibuku. Aku menyadari bahwa faktanya ayahku tidak pernah kembali lagi. Semakin aku dewasa aku semakin aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku merasa ada yang salah dengan semua ini, ada perasaan yang membuatku curiga. Ibu tidak pernah tidur cukup, waktunya hanya dihabiskan untuk bekerja. Ia membuat kerupuk udang yang selalu dititipkan ke warung, bahkan Ibu juga jalan dari rumah ke rumah untuk membersihkan rumah tetangga mencuci hingga tangannya memerah. Hal tersebut membuatku merasa kasihan pada Ibu.

Aku sudah melarang Ibu untuk berhenti tetapi tetap saja ia tidak pernah menghiraukanku.

"Bu, Ibu tidak perlu bekerja seperti ini lagi. Ibu harus bersabar sebentar lagi aku akan lulus, aku akan bekerja sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita." Jawabku sambil menangis melihat tangan-tangan ibu yang memerah dan kasar.

"Sudah tak apa, Ibu melakukan semua ini untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, ini untuk uang jajan kamu juga tak apa saying." Jawab Ibu sambil tersenyum, tetapi senyumannya membuatku semakin sedih.

Memasuki tahun ke sembilan belas tanpa ayah, teka-teki perlahan mulai terjawab pertemuan yang tidak sengaja terjadi, pertemuan yang menampar pipiku hingga air mataku memanas. Awalnya ketika aku naik angkutan umum tidak ada yang aneh, tetapi ketika mataku melirik ke pojokkan aku melihat sosok. Sosok yang selama ini aku rindukan, sosok yang selalu aku tanyakan kepada Ibu. Ia tengah mengendong anak perempuan dengan sangat hati-hati. Aku iri, aku iri dengan anak itu. Disebelahnya ada sosok wanita yang tidak ku kenali, ia wanita paruh baya yang seumuran dengan ibu. Aku masih terdiam menatapi mereka.

Selama diangkutan umum Ayah tidak tersenyum sedikit pun kepadaku, jangankan tersenyum melirik saja tidak. Aku malu dengan diriku sendiri, yang telah dilupakan oleh ayahnya sendiri. Mungkin Ayah tidak tahu rupa ku atau dia terlalu terlena dengan keluarga barunya, keluarga sempurna baginya. Begitulah hidup tidak ada yang tahu akhirnya, ada yang bahagia, adanya juga yang tidak sempurna, namun apa boleh buat?

Setelah turun dari angkutan umum aku tidak sadar air mataku telah membasahi pipiku, tanpa bicara aku langsung masuk ke kamar. Awalnya ibu berpikir aku menangis karena tekanan anak remaja, sampai akhirnya Ibu masuk ke kamarku melihat aku menggenggam tumpukan kertas yang aku tulis nama nama Ayah. Ia kemudian sadar, bahwa kenyataan telah menampar angan. Aku bercerita pada Ibu tentang yang telah aku alami sepanjang perjalanan tadi. Ibu berkata "maaf nak, maaf Ibu tidak jujur kepadamu selama ini, tetapi kamu jangan membenci Ayahmu, bagaimanapun ia tetap Ayahmu, panutan hidupmu."

Bagaimana mungkin? bagaimana bisa aku tenang? disaat anak yang lain duduk ditaman sambil makan es krim dengan Ayahnya, aku hanya berdiam didepan rumah sambil bermain dengan boneka ku sendirian, disaat anak yang lain datang ke sekolah diantar oleh Ayah mereka, aku hanya datang sendiri sambil menundukkan wajah. Aku malu kepada teman-teman, aku malu tidak ada cerita tentang Ayah yang dapat ku pamerkan kepada teman-teman.

Sekarang sudah genap duapuluh tahun, aku tumbuh tanpa adanya sosok Ayah disampingku. Sudahlah aku tidak mau mengharapkan Ayah lagi. Aku tidak mau sakit hati lagi. Bagiku dia sudah pergi, pergi entah kemana, pergi dengan keluarga barunya. Sekarang aku sudah tidak mau peduli tentang sosok Ayah, sudah cukup bagiku merasakan sakit hati.

Tadi malam Ibu mengelus rambut panjangku, aku rasa ini untuk yang terakhir kalinya karena aku akan pindah ke kota besok.

"Ibu tidak menyangka anak Ibu sudah sebesar ini, Dewi kenapa kamu cepat sekali bertumbuh? Apa kamu yakin dengan keputusanmu untuk pindah ke kota? apa kamu tidak mau bekerja disini saja?" Ibu melontarkan banya pertanyaan yang membuatku pusing tapi tak apa sambal tersenyum aku menjawab pertanyaan Ibu satu persatu.

"Ibuuu, tak apa aku disana bisa jaga diri. Lagi pula kan di Jakarta UMRnya lebih besar daripada disini. Aku janji bakal sering kirim uang untuk Ibu asalkan Ibu juga mau berjanji untuk terus menjaga kesehatan Ibu oke?" Jelasku kepada Ibu tanpa menyakiti hatinya.

"Ibu masih tidak ingin pisah darimu, nanti kalau ibu rindu bagaimana?" Jawab ibu tak mau kalah.

"Tenang bu, nanti kalau Ibu rindu Ibu bias menghubungiku dan jika ingin bertemu kabari saja" Jawabku lagi dengan hati-hati agar tidak menyinggung hati orang yang sangatku sayangi.

"Hmmmm kalau itu sudah keputusanmu yasudahlah apa boleh buat, tapi nanti kalau sudah di kota jangan terlalu percaya dengan orang lain, bagaimanapun baiknya sosok teman belum tentu mereka tulus kepadamu, dan jangan lupa untuk selalu menghubungi ibu."

"Iyaaa Ibuku saying tenang sajaa aku akan selalu ingat kata-kata dari Ibu" Jawabku sambal mencium pipi Ibu.

Sebenarnya dalam hati aku sangat takut. Aku takut tiba-tiba Ibu tiada, tiba-tiba Ibu meninggalkanku seperti sosok Ayah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 06, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now