20 Maret 2000
Sosoknya selalu kulihat bersandar pada dinding ruang kesenian. Sesekali kuberanikan diri untuk menghampirinya, sayangnya ia tak kunjung menyadari kehadiranku. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia terus menatap lurus pada deratan kanvas dengan serius. Kucoba mengikuti arah pandangnya—sayangnya, tak kutemukan suatu hal yang menarik. Aku terus menatapnya hingga seseorang menepuk lembut pundakku. Orang itu tersenyum ramah saat aku menatapnya, kemudian ia berdecak sambil bergumam pelan saat melihat ke arah sosok yang sedang kuamati tadi. Menyadari orang itu akan mengembalikan kesadaran temannya, aku bergegas keluar dari ruang kesenian.Mungkin, jika aku lebih lama berdiam dan ia tersadar dari pikiran-pikirannya, ia akan melihatku. Orang itu pun akan menyadari kehadiranku. Tapi, rasanya belum saatnya aku terlihat. Tinggal beberapa tahun lagi. Kumohon tunggu beberapa tahun lagi.
10 April 2000
Aku menunggunya dibalik majalah yang sengaja menutupi wajah. Kuperhatikan jam yang melilit asal pada pergelangan lengan kiriku—jarum-jarumnya telah mengarah pada angka 10 dan 11. Kuedarkan pandangan, namun orang itu tak kunjung terlihat. Orang-orang mulai ramai berjalan beriringan di hadapanku, membuat pandangan ke arah ruang kesenian terhalang. Kuputuskan untuk menunggu di dalam ruang kesenian. Orang itu ternyata telah berada pada posisi biasanya—namun kali ini ia terduduk. Aku tertegun saat ia menatapku dengan seulas senyum tipis menghias wajahnya, "Kau... maukah kau kulukis?" Itulah percakapan awal kami. Percakapan yang dimulai dari pertanyaan yang tak biasa kudengar yang kujawab dengan anggukkan singkat.
5 Juni 2000
Aku mulai menghindarinya. Bukan, bukan karena malu, minder, atau yang lainnya... hanya saja, belum saatnya ia menyadari keberadaanku. Anggap saja kejadian waktu itu hanya kebetulan, dan kebetulan tak akan terulang terus-menerus 'kan? Aku merubah penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki—terasa terlalu berlebihan memang, tapi apa boleh buat, ini untuk menghindari 'kebetulan' lainnya.
Kulihat ruang kesenian penuh sesak, banyak siswa yang tergesa-gesa memasuki ruangan itu—oh, bahkan beberapa guru juga melakukan hal yang sama. Perlahan kumasuki ruang kesenian. Banyak kanvas yang telah dilukis terpajang di sepanjang dinding-dindingnya. Aku berkeliling untuk melihat-lihat keterangan lukisan-lukisan itu, hampir seluruh lukisan dilukis oleh orang itu. Langkahku berhenti di depan lukisan dengan judul shadow. Kuangkat kepalaku untuk melihat lukisannya. Siluet perempuan yang dilukis tampak samping dengan cat biru tua terlukis disana. Berlatar belakang berwana cokelat yang semakin ke bawah, semakin berwarna cerah. Aku tak yakin, namun—sepertinya—lukisan itu memiliki makna yang dalam sehingga membuatku terus menatapnya. Berbagai pertanyaan terus bermunculan tentang lukisan ini. Seseorang menabrak bahuku, mengembalikan kesadaranku pada ruangan ini. Orang itu meminta maaf yang kujawab dengan anggukan kepala tanpa menoleh kearahnya."Apakah kau menyukai lukisan itu?" Aku terkejut setelah melihat orang di sampingku. Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis, "Itu kau. Apakah kau menyukainya?" lanjut orang itu yang sontak membuatku membulatkan mata.
7 Juni 2001
Aku mulai sibuk dengan tes kenaikan tingkat. Tak ada waktu untuk membahas orang itu. Namun, kejadian sekitar satu tahun yang lalu membuatku tersenyum sendiri. Ya... saat itu kami berkenalan. Hanya saling berkenalan—bertukar nama dan penjurusan yang dipilih, tak lebih. Oh! Dia juga menceritakan sedikit tentang lukisan shadow –nya. Well, ia bilang itu aku yang dilukisnya dari samping. Katanya aku memiliki aura yang semakin lama, semakin memudar warnanya. Aku hanya menanggapinya dengan senyum semanis mungkin. Sejak saat itu aku kembali menjaga jarak darinya, selama satu minggu aku tak menunggunya di depan ruang kesenian, selama itu pula aku mulai fokus pada tugas-tugas yang diberikan. Semakin cepat tugas-tugas ini selesai, semakin cepat pula proses kelulusanku, jika itu terjadi, akan semakin cepat aku menampakkan diriku.
30 Desember 2001
Akhirnya tugasku selesai! Tinggal menunggu beberapa bulan lagi untuk lulus. Benar, aku mulai menampakkan diri di ruang kesenian, namun ia seperti tak mengenaliku. Tak jarang aku menyunggingkan senyum simpul saat pandangan kami bertemu, tapi ia malah membuang muka lalu mempercepat langkahnya. Apakah ini masih belum saatnya untuk 'terlihat' olehnya?
5 April 2003
Sudah satu tahun sejak kelulusanku. Namun, aku masih meragukan rencana awalku agar terlihat olehnya. Kami lulus bersama, namun tak seorang pun melihatku. Benar, aku merasa terlihat hanya pada saat penyerahan ijazah. Setelahnya? Tak ada yang menyadari kehadiranku—bahkan dia yang pernah mengajakku mengobrol. Apakah aku lebih baik tidak terlihat?
15 Februari 2004
Aku melihatnya kembali. Ia tengah berdiri sambil menggenggam beberapa kantung belanja. Berulang kali ia menoleh ke belakang sampai seorang perempuan menghampirinya dan mengatakan sesuatu—entah apa yang dikatakan orang itu hingga membuatnya tertawa. Mereka berjalan ke arahku. Aku sengaja berdiam diri, tapi ia hanya lewat begitu saja.
30 Oktober 2009
Aku menatap bayangan pada cermin. Meyakinkan diri semua akan berjalan lancar. Acara pesta kostum sekaligus reuni sekolah membuatku cemas. Kukenakan dress selutut dengan warna biru tua, serta sepatu tinggi dengan warna senada. Tak lupa kukenakan topeng yang menutupi setengah bagian dari wajahku. Aku langsung memasuki ruang aula. Ruangan itu telah di tata dengan ornamen-ornamen yang dibuat mistis, tapi masih terdapat kesan manis pada beberapa bagian. Sebuah lukisan besar yang digantung di belakang podium mengejutkanku sekaligus membuatku menahan senyum.
"Sepertinya kau masih mengingat lukisan itu, Elliana." Suara bisikkan itu membekukanku selama beberapa waktu, ketika orang itu menepuk-nepuk pundakku barulah aku membalikkan badan. Orang itu tersenyum lebar, ia tak mengenakan topeng atau apapun untuk menutupi wajahnya.
"Kau... mengenaliku?" Ucapan itu terucap begitu saja. Namun, ia malah tertawa pelan sambil menganggukkan kepala.
"Tentu. Betapa bodohnya aku saat berpura-pura tak pernah mengenalmu. Maafkan aku akan hal itu, Elliana," ia tersenyum kecil, "Maukah kau berdansa denganku?" Seketika itu cahaya meremang, alunan musik lembut mulai terdengar. Belum sempat aku memberikan jawaban, ia telah menarik tanganku—membuat kami bergabung bersama orang-orang yang sedang berdansa.
17 September 2012
Sebuah paket besar bersandar pada dinding ruanganku. Aku hanya dapat menatapnya dari kejauhan. Yah... benda itu diletakkan di pojok ruangan ini, sedangkan aku hanya duduk bersandar pada ranjang.
"Bisakah kau bukakan dan membawa paket itu kemari?" ucapku pada seorang perawat yang langsung bersedia mengabulkan permintaanku. Aku membelalakkan mata menatap paket yang telah dibuka dan diperlihatkan kepadaku. Benar. Paket itu adalah sebuah lukisan kanvas besar. Lukisan yang selalu membuatku terkejut saat melihatnya. Lukisan yang selalu membuatku menorehkan senyum simpul. "Terima kasih. Tolong kau gantungkan itu lurus dengan ranjangku." Perawat itu mengangguk, lalu memanggil dua orang pria untuk melakukan hal itu. Ya...walaupun aku tak dapat melihatmu lagi.... Namun, aku dapat merasakan keberadaanmu dalam lukisan itu. Lukisan—yang kau bilang—siluet diriku yang kaunamakan 'Shadow'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumcer Random
ContoKumpulan cerita pendek dengan berbagai genre . . . . . . . . . . . . . . cover - ©google