Pukul lima pagi sepasang mata itu masih tertutup indah. Menikmati kedamaian alam bawah sadar yang memberi jeda kebaikan untuk raganya. Sesekali dahi itu nampak berkerut, juga sirna dalam sekian detik kemudian.
Tak ada suara alam menyenangkan meskipun hari terhitung masih gelap. Yang ada hanya suara pendingin ruangan juga bising tak beraturan, sebab dia tinggal di lantai 13 sebuah bangunan tinggi yang biasa disebut flat.
“Eunghh…” lenguhan berat terdengar mana kala ia mendengar suara alarm yang sengaja ia setel sebelum ia tidur.
Lantas ia mematikannya, disusul terdiam memandangi atap kosong sebelum bangkit menuju kamar mandi.
Hari ini, adalah hari pertama ia bekerja. Diterima disebuah perusahaan elektronik ternama membuat ia rela meninggalkan kampung halaman setelah ia juga baru saja beberapa bulan kembali dari wisuda pendidikan terakhirnya. Lagi dan lagi ia memang sudah ditakdirkan menjadi anak rantau.
Beberapa saat ia tatap dirinya melalui cermin disana, menilai diri sendiri dan sedikit memikirkan apa yang akan ia lakukan hari ini.
“Lo bisa! Lo pasti bisa!” gumamnya.
Putaran jarum jam terasa begitu cepat mana kala ia sudah melakukan semua yang harus ia lakukan sebelum bekerja. Pukul tujuh, ia bergegas mengambil tas dan meninggalkan rumah.
Sampainya disana, ia dihadapkan dengan beberapa pegawai yang sepertinya juga baru. Mereka diminta menunggu sebelum mendapat arahan dari orang perusahaan. Pukul delapan pagi, seorang wanita anggun datang pada kerumunan anak baru, dengan senyum ramah ia memperkenalkan diri sebagai utusan untuk memandu tour kami nanti.
Kami diajak berkeliling dibeberapa divisi sebagai langkah awal pengenalan. Kemudian wanita itu terus berceloteh tentang perusahaan yang aku yakin tak semua kami pahami dan mengerti.
Tiba di area kafetaria, mereka dipersilahkan duduk dan mendapat camilan kecil sebagai pengganjal perut. Selang beberapa menit datang beberapa orang yang adalah orang-orang dari berbagai divisi.
Semua karyawan baru diarahkan ke area divisi masing-masing. Dan ia, Alice Charlotte dibawa pada lantai teratas gedung ini. Ia rasa begitu tak mengerti alasan ia dibawa pada area yang seingatnya tidak ia putari tadi. Kemudian ia dibawa pada sebuah ruangan lumayan luas berdisain sangat manis.
“Silahkan masuk.” Wanita itu mempersilahkan Alice duduk juga ia mendudukkan dirinya disebuah sofa bersebelahan dengan Alice.
“Saya Erika, sekertaris Mr. Mark. Ruangannya ada disebelah, kau bisa menemuinya lewat pintu penghubung disana.” Erika menunjuk sebuah pintu pernghubung disebelah meja kerjanya.
Alice mengangguk paham.
“Jadi, alasan saya membawa kamu kesini adalah karena kamu akan menggantikan posisi saya. Saya ingin fokus mengurus anak saya setelah melahirkan. Dan dua minggu kedepan kamu akan saya dampingi. Bagaimana? Ada yang perlu ditanyakan?”
Alice tersenyum kaku. Ia paham dan sepertinya penjelasan yang Erika berikan tersebut sudah cukup ia mengerti. Jadi...
“Belum.”
“Oke.” Erika melihat jam sejenak. “Setiap pagi Mr. Mark selalu minum kopi. Ayo ikut aku ke Pantry.”
Dan yang Alice pelajari dari cara membuat kopi untuk Mark adalah gula harus tiga sendok teh sedang kopi satu sendok teh. Cangkir tidak boleh belepotan dan menggunakan satu set cangkir berwarna putih polos. Merepotkan. Begitu pikir Alice.
Saat mereka sampai di depan ruangan, Alice merasa gugup setengah mati.
“Gugup?” Tebak Erika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost is Never Enough
General FictionDua manusia itu berada dalam suatu hubungan. Mereka berlakon layaknya pasangan pada umumnya. Ketika semua sudah terjadi, mereka menikah, aturan mulai menipis. Ada panah menembus dinding yang tidak seharusnya dijangkau. Batasan waktu kian hari semaki...