03. Roller Coaster

8 1 0
                                    

Tiba didepan rumah, mereka disambut sang ibu dengan penuh haru. Pasalnya, Roséanne benar-benar tak bisa bayangkan akan melepas tanggung jawab atas si bungsu secepat ini.

Mereka menangis di teras rumah, seperti tak bertemu ribuan tahun. Padahal minggu kemarin Alice nyatanya masih di rumah.

Masuk kedalam rumah, mereka sudah dihadapkan dengan berbagai sajian tradisional khas jawa. Hal baru untuk Mark yang jarang makan makanan indonesia.

Dipersilahkan untuk duduk, Mark dan Alice masih berusaha membangun mood sebaik mungkin. Mereka sungguh tak ingin kalau sang ibu tau gelagat mereka yang sebenarnya aneh.

Hendak menyantap satu gorengan, Alice urung sebab sang kakak tiba-tiba muncul mencuri tempe mendoan ditangannya.

"Lo kok ga bilang mau kesini?" Sinis Aira.

"Sengaja. Kejutan 'kan jadinya?" Jawab Alice berusaha menutupi segalanya.

"Untung tadi ibu ngomong ke gue, kalo ga mungkin gue udah jadi gelandangan depan flat lo."

Alice terkikik pelan. Kemudian menarik sang kakak untuk duduk disebelahnya.

"Iya, deh sorry." Alice mengecup singkat pipi Aira yang mengembang akibat makan mendoan.

"Sebelah lo siapa? Ganteng amat." Bisik Aira.

"Mark. Dia kakak gue, namanya Aira."

Dalam hati Alice menggerutu. Percuma juga dia kenalkan. Bukankah Mark sudah tau semuanya. Tapi, itu memang diperlukan agar dramanya sempurna.

Mark mengangguk guna menyapa Aira.

Waktu berlalu mereka habiskan untuk berbincang ringan, saling mengenalkan diri. Mark juga sudah mengutarakan maksud dan tujuan ia datang. Berkata bahwa ia merasa penyesalan terdalam karena menyampaikan berita sepenting ini melalui telepon.

Dan tentu saja semua itu bohong. Mereka sedang menjadi pelakon drama, bukan?

"Oh iya, Mark. Penerbangan nanti jam berapa?" Tanya sang ibu sebab belum mengetahui sama sekali.

"Jam 3 sore. Biar nanti acaranya ga kemaleman."

Pukul dua belas siang, Aira pamit untuk pergi sejenak membeli sesuatu ke minimarket perempatan jalan depan. Sedang Roséanne istirahat dikamar guna mengumpulkan tenaga sebelum penerbangan nanti, tubuh tua memang butuh persiapan khusus.

Kini tinggal Mark dan Alice diruang tv sepeninggal ibu dan kakak Alice. Mata Mark sedikit memberat lantaran semalaman ia tak bisa tidur. Dan tadi pagi melakoni drama yang menguras energi. Tubuhnya sudah kehabisan tenaga, butuh istirahat.

Matanya terpejam, sepuluh menit kemudian ia sudah terbangun. Terganggu suara bising televisi yang menampilkan acara talk show siang hari. Alice dari dapur datang dengan membawa segelas air putih dingin.

Melihat Mark sudah terjaga membuat Alice bingung harus bagaimana. Otaknya perintahkan ia untuk segera berbalik arah dan menuju kamar saja, lalu tidur. Tetapi kakinya betulan berkhianat. Saat ini Alice sudah duduk manis menonton televisi di sofa, ditemani berbagai bantal menumpuk disekitarnya.

Ia menyesap air putih yang ia bawa sedikit, lalu diletakkan pada meja kecil didepannya.

Disebabkan haus, Mark mengambil alih kepemilikan gelas itu dan menghabiskan seluruh isinya.

Melayangkan tatapan tak terima, Alice tiba-tiba saja ingin sekali memaki pria itu untuk kesekian kali.

"Apa?" Tanya Mark.

Meredam emosi dengan helaan nafas. Alice mengabaikan pertanyaan Mark dan kembali pada gambar bergerak didepannya.

Diantara diam mereka, Mark iseng-iseng melihat kearah Alice. Sedikit menilai, ia kira Alice tak buruk juga jika nantinya ia jadikan pengantin pria itu. Mereka akan terlihat serasi saat pesta digelar.

Almost is Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang