Pintu warna hitam, berada tepat disebelah kiri tangga. Berbentuk tinggi besar tanpa ornamen apapun, hanya sebuah kayu kotak yang dicat hitam.Alice membuka pintu dengan hati-hati. Permisi diawal saat pertama kali memasuki ruangan asing yang begitu pribadi untuk semua orang.
Kakinya menapak ragu memasuki ruangan di sana. Ia melihat sekeliling yang begitu rapi dan bersih. Aroma pengharum ruangan serta deru pendingin menyapanya untuk pertama kali.
Matanya menyapu sekeliling tanpa celah. Menilai betapa Mark benar-benar seorang perfeksionis yang ia lihat dari ruang kerja di kantor dan kamarnya yang sungguhan rapi dan bersih.
Lantas ia duduk di sofa, menunggu si pemaksa datang.
Tak berapa lama ia mendengar suara pintu terbuka, Mark datang dengan membawa tas Alice yang belum sempat ia turunkan dari mobil.
"Kamu mandi dulu. Sikat giginya di lemari kaca wastafel." Kata Mark sambil meletakkan tas itu di sofa dekat Alice.
Sepeninggal Alice, Mark bergerak cepat. Ia menghubungi asisten pribadinya. Ia perlu tangan seseorang untuk menangani tetek bengek persiapan pernikahan ia dengan Alice.
Nada sambung terdengar kemudian, tak sampai dua detik ia sudah mendapat jawaban dari seberang.
"Dua minggu dari sekarang saya menikah. Siapkan semuanya."
"Yes, Sir."
"Saya tidak ingin ada media. Hanya keluarga inti yang hadir. Karena itu, saya harap semuanya maksimal."
"Baik. Untuk konsepnya?"
Tampak Mark berpikir sejenak.
"Terserah. Di Jakarta saja."
Sambungan tertutup. Ia melempar ponselnya di sofa lantas mengurai bajunya sebab tiba-tiba merasa gerah. Kemudian berjalan menuju balkon, membuka pintunya lebar sebelum melangkah keluar.
Tak ada hal indah yang bisa ia pandangi selain langit. Padatnya penduduk ibu kota membatasi gerak mata yang ingin melihat pemandangan alami juga segar. Dan tak ada pilihan selain memandangi langit hitam kali ini.
Suara gemericik air masih terdengar riuh didalam sana. Bersamaan dengan itu, imajinasi Mark berlari tak tentu arah.
Teringat kejadian pertama di mobil dan pesawat hari ini membuat bulunya meremang. Ia tak kuasa untuk tidak membangun gambaran bagaimana Alice jika mereka melakukannya lagi.
Lagi?
Bolehkah?
Dilanda keinginan yang begitu kuat Mark memejamkan matanya sejenak, menetralkan segala sensasi aneh sebab tak bisa berhenti membangun khayalan indah bersama gadis itu.
Kakinya berbalik kemudian, antara kegamangan dan penasaran luar biasa. Berhenti tepat didepan pintu kamar mandi. Tangannya perlahan mengayun dan bertumpu pada gagang pintu. Suara air dari shower terus merasuki pikiran Mark untuk melakukan sesuatu didalam sana.
Dengan perasaan berdebar yang sama sekali baru, Mark membuka pintu perlahan. Dalam sana, didalam bilik transparan terlihat jelas siluet Alice. Sedetik kemudian Mark mengutuk siapapun yang membuat pintu kamar mandi tanpa kunci yang ada dikamarnya.
Jika sudah begini naluri prianya akan semakin menguar. Tak bisa ia bantah lagi, kakinya menyusuri lantai berbatu menuju bilik dipojok ruangan. Bagai dijatuhi berlian dari langit, Mark memuji dengan sangat Tuhan yang telah menciptakan tubuh seindah tubuh gadis yang berdiri memunggunginya. Tubuhnya begitu mungil dan padat. Proporsi sempurna untuk ukuran wanita muda seperti Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost is Never Enough
Fiction généraleDua manusia itu berada dalam suatu hubungan. Mereka berlakon layaknya pasangan pada umumnya. Ketika semua sudah terjadi, mereka menikah, aturan mulai menipis. Ada panah menembus dinding yang tidak seharusnya dijangkau. Batasan waktu kian hari semaki...