feeling : ayah

274 35 5
                                    

feeling : Unknown

*_*_*

"Sakit, Yah?"

Pagi itu ayah terihat tidak seperti biasanya. Bangunnya siang, badannya lemas, dan wajahnya pucat.

Meski sikapnya ketika berdua denganku berubah, tapi ayah tetap menjadi ayahku. Dia selalu datang di acara sekolah maupun kampusku, mendukung kegiatan-kegiatanku, memelukku ketika aku menangis meski jarang sekali ia bertanya mengapa, dan aku pun yakin dia masih mendoakanku. Dan bagaimanapun dia, aku tetap menyayanginya. Well, mamaku sudah tidak lagi diketahui dimana rimbanya, jadi aku hanya punya ayah sekarang.

Ayah menggeleng menanggapi pertanyaanku. Dia berjalan menuju dapur dan mengambil panci kemudian diisi air.

Tuh kan.

Mana ada?

"Sini." Aku mengambil panci yang berisi air di tangan ayah dan menyalakan kompor. Pancinya ku letakkan di atas tatakan kompor dan aku membuka lemari untuk mengambil sekotak teh melati kesukaan ayah.

"Kamu nggak keluar hari ini?" tanya Ayah diikuti gelenganku.

"Ayah mau makan apa?" Aku balik bertanya.

"Apa saja pasti ayah makan."

Meski ayah tidak meminta, tapi aku selalu memasak untuk ayah. Makanan di luar sana tidak banyak yang sehat terutama untuk tubuh setengah abad milik ayah. Ayah juga suka makan dengan ditemani, makanya aku kesal sekali kalau ada yang membuat janji di jam makan dan malah terlambat. Aku bisa saja makan dulu bersama ayah.

"Aku mau belanja di tukang sayur di depan. Aku mau masak sop merah sama perkedel sama tempe. Ayah mau nitip apa?" tanyaku lagi. Aku mengembalikan kotak teh kembali ke lemari dan menunggu air mendidih.

"Kalau ada kue yang manis aja."

"Kalau itu ada di lemari makan, Yah. Kemarin kan aku dibawain Mbak Aina. Ayah nonton TV aja sambil tiduran. Nanti aku siapin bareng kuenya."

"Ya sudah. Terima kasih, ya."

Aku hanya tersenyum tipis sambil menatap kepergian ayah. Langkahku beralih ke lemari makan di ruang makan. Dari dalamnya ku ambil sekotak besar bolu yang sudah kupotong sebagian. Hanya kue bolu sederhana dengan pola abstrak, tapi enak sekali. Kata Mbak Aina ini hasil karya temannya, menjadi prototype untuk toko kue yang akan dibuka beberapa bulan lagi.

Secangkir teh dan sepiring kue bolu sudah tersaji saat teriakan penjual sayur keliling terdengar. Aku segera keluar dan menuntaskan kebutuhanku. Untuk kebutuhan macam ini aku juga sudah tidak meminta uang pada ayah. Sudah saatnya ayah menikmati hasil keringatnya untuk dirinya sendiri. Lagipula hal-hal macam ini sudah menjadi keinginanku, kan?

Kembali ke dapur, aku baru sadar ayah mengikutiku. Dari tembok yang bercelah bisa kulihat ayah duduk di ruang makan bersama teh dan bolunya. Padahal acara TV pagi-pagi biasanya masih patut untuk ditonton.

"Harsa."

Aku mendongak dan menatap ayah yang ternyata masih mengangkat cangkir kopinya. Apa aku salah dengar? "Iya, Yah? Ayah manggil aku?"

"Kamu sudah umur berapa sekarang?" tanya ayah tanpa menjawab pertanyaanku.

"Emm... Dua lima, Yah."

Ayah hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menyesap tehnya. Aku melanjutkan merebus ayam dan membuat kaldu darinya. Tak lupa kusiapkan sayuran yang akan kupakai. Sambil menunggu, aku mulai melihat kukusan kentangku. Sudah hampir siap.

Pagi itu aku butuh sekitar satu setengah jam sampai tiga makanan yang kujanjikan terhidang di atas meja. Ayah pun sudah segar karena memaksa mandi meski aku tau pasti badannya lemas sekali.

feeling : unknownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang