\He is the most stupendous spectacle I have ever seen/
💜
Aku menunggu dengan kaki yang mulai tak sabar; mengetukkannya berkali-kali ke atas paving dengan kubangan air selepas hujan. Hawa dingin terlalu menusuk kulit hingga membuatku merapatkan mantel beludru panjang lebih rapat dan menghalau hawa dingin yang meresap ke dermis kulit.
Hampir lima menit aku berdiri di sini, dan selama itu juga mataku tak bisa berhenti menatap ke sudut atap dimana biasanya lelaki itu muncul dengan seraut wajah sendunya atau hanya sekedar berdiri di sana seperti seseorang yang kesepian.
Ngomong-ngomong soal lelaki yang sedang ku tunggu, dia ini sangat misterius—dan tampan. Well, ku kira aku mulai menaruh perhatian padanya sejak hari dimana aku melupakan PR matematikaku dan membolos—rooftop adalah bagian paling baik di sekolah untuk bersembunyi dan melarikan diri. Singkatnya, aku melihatnya di sudut sana sedang berdiri dan memejamkan mata—Oh, lihat! Betapa indahnya tubuh penuh otot yang terbalut seragam itu.
Senyumku mengembang ketika aku melihatnya pada satu sudut seperti biasa. Jadi, sedari tadi aku hanya melamun tanpa menyadari kalau dia sudah berdiri di sana? Begitukah?
Kali ini dia memakai seragam olahraga hitam yang membuatku menenggak ludah sebanyak dua kali—perfect!
Aku menghembuskan napas tegang, menyapanya ternyata membutuhkan keberanian yang harus melebihi ambang batas kadar seratus persen. Kami menjadi selangkah lebih dekat, dan aku hanya harus mengatakan 'Hai' bukan?
"Hai."
Dia menoleh, Oh Tuhan, katakanlah bahwa dia memang manusia, wajahnya adalah pahatan yang nyaris sempurna, lihatlah rahang tajamnya yang dapat menggores kulitku tanpa luka, bibir tipis yang membuatku memikirkan seribu cara agak dapat melumatnya, dan mata hangatnya yang membuatku nyaris meleleh; singkatnya aku dibuat mabuk kepayang oleh eksistensi pria itu.
"Uh..Oh—maaf jika aku sok kenal." Aku menjadi panik sendiri, melihatnya yang menatapku heran dan tatapan yang terasa seperti menginterupsiku membuatku salah tingkah.
Si bodoh! Kau sangat memalukan Song Jia!
Namun lelaki itu tersenyum; menanggapiku dengan sederet gigi yang menyembul dari balik bibir menggoda miliknya. Ini seperti drama-drama romantis yang sering ku tonton, kami dipertemukan dengan cara yang cukup pasaran dan aneh. Namun itulah tantangannya; perihal lelaki itu juga menaruh minat padaku atau tidak, ku rasa mencoba bukan hal yang sia-sia.
"Aku sering melihatmu di sini." Aku mengawali konversasi.
"Iya."
"Aku suka di sini. Pemandangannya indah."
"Ya benar."
Obrolan kami terhenti, aku tidak pandai dalam mencari topik-topik baru untuk menyapa orang baru, karena sepertinya aku hanya pandai dalam urusan membicarakan omong kosong tentang orang lain.
Ternyata lelaki itu juga pandai dalam menyimpan suara; tipikal lelaki cool yang pendiam, sedangkan aku adalah gadis yang sedikit pandai untuk membuang-buang suara.
Aku melihat ke arahnya sekilas. Ekspresinya masih sama; menatap lurus ke depan dengan surai cokelat madu miliknya yang terhembus angin sore. Namun, pandanganku terpaku pada name tag yang terpasang di dadanya—kosong. Tidak ada nama yang tersemat di sana.
"Name tag mu, kosong?" Aku bertanya dengan ragu.
Dia menatapku lagi, aku bisa melihat wajah keemasannya yang terpapar oleh sinar kemerahan milik senja—begitu indah.
"Karena memang sudah seharusnya." Lelaki itu benar-benar pendiam yang ulung, dia hanya menjawab sekedarnya saja.
"Kan, siswa di sekolah wajib memiliki name tag."
"Jungkook. Namaku Jeon Jungkook." <>
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOFTOP | JJK ✔️
Fanfiction[COMPLETED] Pertemuan singkat yang benar-benar singkat, karena dia hanya ilusi yang datang padaku lalu pergi dengan cara yang paling benar, namun tetap terasa salah dan menyesakkan.