5. Waiting

434 83 4
                                    

\Waiting for you with nothing/

💜

'Besok' jika yang dimaksudkan oleh Jungkook adalah hari ini, maka aku akan menagih janji. Sedikit penasaran juga kenapa lelaki itu memintaku bertemu padahal setiap hari kami memang selalu saling bertemu. Ah ralat, sebenarnya aku yang lebih sering menemuinya. Jangan kira kalau aku tidak punya harga diri hanya demi menemui satu cowok, mungkin ini yang dinamakan jatuh, dan aku menikmatinya.

Jungkook bukanlah seseorang yang tak pandai menjaga perasaan, menurutku. Lelaki itu terlihat seperti seseorang yang benar-benar bisa memegang janji; janji kecil sekalipun.

Namun ini sudah pukul lima, dan hidungku belum mencium aroma lelaki itu sama sekali; bahkan tidak ada suara langkah kaki, presensi, atau apapun itu yang dapat menegaskan kehadirannya.

Aroma petrikor menguar menembus membran nasal, membuatku menghirupnya dalam-dalam sembari memandang langit yang memang benar-benar kelabu sore ini. Aku akan menunggu sampai pukul enam, itu adalah batas waktu hingga kesabaranku habis dan meninggalkan sisa penantian untuk Jungkook. Dan jika dia tidak datang, aku akan benar-benar membunuhnya besok dengan sapu milik penjaga sekolah kami, atau bahkan melemparkan meja milik Paman Ahn ke wajahnya.

Tapi faktanya dia benar-benar tidak datang, padahal masih ada sisa kesabaran yang menumpuk hingga pukul tujuh malam. Apakah dia tidak tahu bahwa aku menggigil kedinginan di atas sini?

Heol!

Dia brengsek.

Aku benar-benar kecewa dan akhirnya menangis; menangisi Jungkook yang kelewat menyebalkan.

Aku berjalan gontai ke arah koridor, masih berharap cemas bahwa kedua mataku ini akan melihatnya lagi di ujung lorong; di depan lokernya. Namun nihil, pria itu tak ada di sudut manapun. Jadi, aku hanya berdiri di depan loker miliknya dan menendang-nendang pintu besi itu seperti orang gila. Baru kusadari bahwa tidak ada apapun di pintu loker lelaki itu, bahkan catatan atau coret-coretan seperti loker milik cowok lain di sekolah—pintunya benar-benar bersih tanpa tinta.

Sudut bibirku tertarik tipis; Jungkook memang anak yang mencintai kebersihan.

Aku menunggu ibu seperti seseorang kesepian yang berpura-pura tegar, Dan hanya karena masalah Jungkook, air mataku suskes keluar dengan mudah, entah kenapa. Padahal teman-temanku yang dengan mudah membatalkan janji tidak mudah untuk membuat air mataku keluar. Tapi Jungkook? Aku merasa seperti seorang gadis bodoh yang menangis gara-gara menunggunya—hal sepele seperti itu nyatanya mampu membuat hatiku berdenyut sangat nyeri saat ini.

Bagaimana bisa dia tidak datang dan membiarkanku menggigil kedinginan sendirian, lihat saja! Aku akan balas dendam.

Lihat saja Jung!

Akhirnya, aku pulang dengan kepala yang terus tertunduk dalam. Jika ditanya kenapa, aku akan menjawab tidak apa-apa; tipikal seorang wanita yang tengah merasakan kemelut apa-apa.

Aku merapatkan kaki dan memeluk lutut; merenung semalaman suntuk hanya karena memikirkan Jungkook, namun semakin aku memikirkan cowok jangkung itu, aku semakin merasa kalut. Kebencian yang telah kuusahakan sungguh-sungguh agar aku memiliki alasan untukku menghajarnya, mendadak lenyap entah kemana.

Karena saat ini yang ada di dalam pikiranku adalah; Apakah Jungkook baik-baik saja?

Perasaan kesal berubah menjadi khawatir hanya dalam hitungan jam. Aku tidak memiliki nomor ponselnya, ingin menghubungi takut-takut jika terjadi apa-apa dengan lelaki tersebut, namun nyatanya aku hanya terdiam meringkuk di kasur dan menyetel musik untuk mengalihkan pikiran.

Ya, setidaknya pikiranku jauh lebih tenang saat ini.

Aku akan menemuinya lagi besok, dan jangan lupa bahwa aku akan benar-benar memukul bocah kurang ajar itu dengan sapu. <>

ROOFTOP | JJK ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang